JAVA COMPUTER
AJIBARANG
Computer Service Center - Education, - Maintanance - Sale
Repair Computer, Laptop/NoteBook, Printer.
Lembaga Kusus dan Pelatihan Jln. Pandansari No.9
Ijin Pemda dan Telah Divalidasi
Kementrian Pendidikan Nasional Jakarta
Akta Notaris Henny Dwi BudiastutyAnggraeni, S.H, M.Kn.
Akta Notaris Henny Dwi BudiastutyAnggraeni, S.H, M.Kn.
Ajibarang - Banyumas - Jawa Tengah
Mobile: 085 743 622 909
Panggilan Ke Rumah maupun Kantor
Panggilan Ke Rumah maupun Kantor
Hari Minggu/Libur Buka
Halal-Haram Musik Menurut Al Quran dan Sunnah
Ketika para ulama berbeda pendapat tentang hukum halal dan
haramnya musik, tergelitik bagi kita untuk meneliti latar belakang dan sebab
perbedaan pendapat di antara mereka.
Ternyata titik pangkal masalahnya memang ada begitu banyak dalil
yang saling berbeda bahkan bertentangan, antara yang disimpulkan sebagai dalil
yang menghalalkan musik di satu sisi, dengan dalil yang mengharamkannya.
Dan ternyata kita menemukan cukup banyak dalil baik di dalam
Al-Quran maupun di dalam As-Sunnah, baik yang mengharamkan maupun
menghalalkannya.
A. Dalil Yang Mengharamkan
1. Al-Quran
Tidak ada satu pun ayat Al-Quran yang secara tegas menyebut kata
musik, alat musik atau lagu dan nyanyian. Sehingga dalil-dalil terkait dengan
musik dan lagu di dalam Al-Quran umumnya bersifat penafsiran atas
istilah-istilah yang punya makna banyak. Di antara istilah-istilah yang sering
ditafsirkan para ulama sebagai musik dan lagu adalah :
a. Surat Luqman : Lahwal Hadits
Di antara dalil haramnya nyanyian dan musik di dalam Al-Quran
adalah ayat yang menyebutkan tentang menyesatkan manusia dengan cara membeli
apa yang disebut dengan lahwal-hadits (لهو الحديث). Ayat ini terdapat di dalam
surat Luqman, yang oleh beberapa ulama disimpulkan sebagai ayat yang
mengharamkan nyanyian dan lagu.
وَمِنَ النَّاسِ مَن يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَن
سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُواً أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ
مُّهِينٌ
Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan
yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa
pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan
memperoleh azab yang menghinakan. (QS. Luqman : 6)
Para ulama yang menyebutkan bahwa makna nya lahwal-hadits (لهو
الحديث) diantaranya adalah Abudullah bin Mas’ud, Abdullah bin Al-Abbas, Jabir
bin Abdillah, ridwanullahi ‘alaihim ajma’in.
Demikian juga dengan pendapat Mujahid dan Ikrimah, mereka
menafsirkan lahwal-hadits sebagai lagu atau nyanyian. Al-Hasan Al-Bashri
mengatakan bahwa ayat ini turun terkait dengan lagu dan nyanyian.
b. Surat Al-Anfal : Siulan dan Tepukan
وَمَا كَانَ صَلاَتُهُمْ عِندَ الْبَيْتِ إِلاَّ مُكَاء وَتَصْدِيَةً
فَذُوقُواْ الْعَذَابَ بِمَا كُنتُمْ تَكْفُرُونَ
Sembahyang mereka di sekitar Baitullah itu, lain tidak hanyalah
siulan dan tepukan tangan. Maka rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu.
(QS. Al-Anfal : 35)
Menurut pendukung haramnya nyanyian dan musik, Allah SWT telah
mengharamkan nyanyian dan musik lewat ayat ini. Logika yang digunakan adalah
bahwa kalau sekedar bersiul dan bertepuk tangan saja sudah haram, apalagi
bernyanyi dan bermusik. Tentu hukumnya jauh lebih haram lagi.
c. Surat Al-Isra’ : Suara
وَاسْتَفْزِزْ مَنِ اسْتَطَعْتَ مِنْهُمْ بِصَوْتِكَ
Dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan
ajakanmu (QS. Al-Isra’ : 64)
Yang menjadi titik perhatian dalam ayat ini adalah kata bi
shautika (بصوتك). Dalam pendapat mereka, ayat ini termasuk ayat yang
mengharamkan nyanyian dan musik; lewat tafsir dan pendapat dari Mujahid.
Beliau memaknainya dengan : bi-llahwi wal ghina (باللهو والغناء).
Al-Lahwi sering diartikan dengan hal-hal yang sia-sia, sedangkan al-ghina’
adalah nyanyian dan lagu.
d. Surat Al-Furqan : Az-Zuur
وَالَّذِينَ لاَ يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ
مَرُّوا كِرَاماً
Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan
apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan
perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga
kehormatan dirinya. (QS. Al-Furqan : 72)
Menurut mereka, kata yasyhaduna az-zuur (يشهدون الزور),
sebagaimana yang dikatakan oleh Mujahid, bahwa kata la yasyhaduna az-zuur itu
maknanya adalah : tidak mendengarkan nyanyian atau lagu. Muhammad bin
Al-Hanafiyah mengatakan hal yang sama. Maka mendengarkan nyanyian dan lagu
hukumnya haram menurut penafsiran ayat ini.
e. Surat Al-Qashash : Laghwi
Sebagian ulama mengharamkan musik karena dianggap sebagai bentuk
laghwi atau kesia-siaan, dan menurut mereka hal itu dilarang di dalam Al-Quran
Al-Kariem.
وَ إِذَا سَمِعوُاُ اللَغُوَ أَعُرَضواُ عَنُه وَقَالواُ لَنا
أَعُمَالنَا وَلَكمُ أَعُمَالَكمُ سَلَم عَلَيُكمُ لَا نَبُتَغِي الُجَاهِلِيُنَ
Dan apabila mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat,
mereka berpaling daripadanya dan mereka berkata: "Bagi kami amal-amal kami
dan bagimu amal-amalmu, kesejahteraan atas dirimu, kami tidak ingin bergaul
dengan orang-orang jahil". (QS. Al-Qashash : 55)
f. Surat An-Najm : Samidun
أَفَمِنْ هَذَا الْحَدِيثِ تَعْجَبُونَ وَتَضْحَكُونَ وَلاَ
تَبْكُونَ وَأَنتُمْ سَامِدُونَ
Maka apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini? Dan kamu
mentertawakan dan tidak menangis? Sedang kamu melengahkan(nya)? (QS. An-Najm :
59-61)
Yang menjadi titik utama dari ayat ini adalah kata samidun
(سامدون), dimana Abdullah bin Al-Abbas radhiyallahu mengatakan bahwa yang
dimaksud dengan samidun di ayat ini adalah al-mughannun (المغنون), yaitu
orang-orang yang bernyanyi atau mendendangkan lagu. Hal yang sama dikatakan
oleh Ikrimah.
2. Hadits
Sedangkan penyebutan alat-alat musik dan nyanyian akan lebih jelas
ketika kita membuka hadits-hadits nabawi. Ada begitu banyak hadits yang terkait
dengan musik dan nyanyian, di antaranya adalah :
a. Hadits Pertama : Musik Penyebab Turunnya Bencana
إِذَا فَعَلَتْ أُمَّتِي خَمْسَ عَشْرَةَ خَصْلَةً حَلَّ بِهَا
الْبَلاَءُ وَعَدَّ مِنْهَا : وَاتَّخَذَتِ الْقَيْنَاتِ وَالْمَعَازِفَ
Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahuanhu bahwa
Rasulullah SAW bersabda,”Apabila umatku telah mengerjakan lima belas perkara,
maka telah halal bagi mereka bala’. Dan beliau SAW menghitung salah satu di
antaranya adalah budak wanita penyanyi dan alat-alat musik”. (HR. Tirmizy).
Hadits ini memasukkan musik sebagai salah satu dari lima belas
penyebab turunnya bencana dari Allah SWT. Maka menurut yang mengharamkan musik,
hukum bermusik itu haram karena akan menurunkan bencana dari Allah SWT.
b. Hadits Kedua : Tugas Nabi Menghancukan Alat Musik
إِنَّ اللَّهَ بَعَثَنِي رَحْمَةً وَهُدًى لِلْعَالَمِينَ
وَأَمَرَنِي أَنْ أَمْحَقَ الْمَزَامِيرَ وَالْكِنَّارَاتِ
Diriwayatkan dari Abi Umamah radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW
bersabda,”Sesungguhnya Allah SWT telah mengutusku menjadi rahmat dan petunjuk
bagi alam semesta. Allah SWT telah memerintahkan aku untuk menghancurkan
seruling dan alat-alat musik”. (HR. Ahmad)
Menurut pendapat yang mengharamkan musik, salah satu sebab kenapa
musik itu diharamkan adalah karena salah satu tugas Rasulullah SAW adalah untuk
menghancurkan alat-alat musik.
c. Hadits Ketiga : Akan Ada Yang Menghalalkan Musik
لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ
وَالْحَرِيرَ وَالخَمْرَ وَالمَعَازِفَ
Akan ada dari umatku suatu kaum yang menghalalkan zina, sutera,
khamar dan alat musik. (HR. Bukhari)
Hadits ini boleh jadi termasuk hadits yang paling selamat dari
kelemahan isnad, karena hadits ini terdapat di dalam kitab Shahih Bukhari.
Sehingga kalau ada yang masih meragukan kekuatan isnadnya, tentu yang meragukan
itulah yang bermasalah.
Mengingat Ibnu Shalah menyebutkan bahwa seluruh umat Islam telah
mencapai ijma’ bahwa kitab tershahih kedua setelah Al-Quran Al-Karim adalah
kitab Shahih Bukhari.
Dan dari segi istidlal, hadits ini juga tegas menyebutkan bahwa
ada orang yang akan menghalalkan alat benda-benda yang haram, dana salah
satunya adalah al-ma’azif, yaitu alat musik.
d. Hadits Keempat : Musik Adalah Suara Yang Dilaknat
Haramnya suara musik juga didasarkan pada hadits berikut ini yang
secara jelas-jelas menyebutkan bahwa suara seruling itu merupakan hal yang
terlaknat di dunia dan akhirat.
صَوْتَانِ مَلْعُوْنَانِ فيِ الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ : مِزْمَارٌ
عِنْدَ نِعْمَةٍ وَ رَنَّةٌ عِنْدَ مُصِيْبَةٍ
Dua jenis suara yang dilaknat di dunia dan di akhirat, yaitu suara
seruling ketika ada kenikmatan dan suara tangisan ketika musibah. (HR.
Al-Bazzar)
e. Hadits Kelima : Allah Mengharamkan Musik
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ قَالَ إنَّ
اللَّهَ حَرَّمَ الْخَمْرَ وَالْمَيْسِرَ وَالْكُوبَةَ وَالْغُبَيْرَاءَ
Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu bahwa Nabi SAW
bersabda,”Sesungguhnya Allah SWT telah mengharamkan khamar, judi, kubah dan
ghubaira’ (HR. Ahmad dan Abu Daud)
إنَّ اللَّهَ حَرَّمَ عَلَى أُمَّتِي الْخَمْرَ وَالْمَيْسِرَ
وَالْمِزْرَ وَالْكُوبَةَ وَالْقِنِّينَ
Sesungguhnya Allah SWT telah mengharamkan atas umatku dari khamar,
judi, mizar, kubah dan qinnin. (HR. Ahmad)
f. Hadits Keenam : Rasulullah SAW Menutup Telinga
Mereka yang mengharamkan alat musik berdalil bahwa ketika
mendengar suara seruling gembala, Rasulullah SAW menutup telinganya. Hal itu
menandakan bahwa musik itu hukumnya haram.
عَنْ نَافَعٍ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ سَمِعَ صَوْتَ زِمَارَةِ رَاٍع
فَوَضَعَ أُصْبُعَيْهِ فيِ أُذُنَيْهِ وَعَدَلَ رَاحِلَتَهُ عَنِ الطَّرِيْقِ
وَهُوَ يَقُولُ : يَا نَافِع أَتَسْمَعُ ؟ فَأَقُولُ : نَعَمْ فَيَمْضِي حَتىَّ
قُلْتُ : لاَ فَرَفَعَ يَدَهُ وَعَدَلَ رَاحِلَتَهُ إِلىَ الطَّرِيْقِ وَقَالَ :
رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ سَمِعَ زِمَارَةَ رَاعٍ فَصَنَعَ مِثْلَ هَذَا
‘Dari Nafi bahwa Ibnu Umar mendengar suara seruling gembala, maka
ia menutupi telingannya dengan dua jarinya dan mengalihkan kendaraannya dari
jalan tersebut. Ia berkata:’Wahai Nafi’ apakah engkau dengar?’. Saya
menjawab:’Ya’. Kemudian melanjutkan berjalanannya sampai saya berkata :’Tidak’.
Kemudian Ibnu Umar mengangkat tangannya, dan mengalihkan kendaraannya ke jalan
lain dan berkata: Saya melihat Rasulullah SAW mendengar seruling gembala
kemudian melakukan seperti ini’ (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah).
g. Hadits Ketujuh : Batilnya Semua Yang Sia-sia
Selain itu mereka yang mengahramkan musik berdalil dengan hadits
di bawah ini, yaitu hadits yang mengharamkan semua yang sia-sia.
كُلُّ مَا يَلْهُو بِهِ الرَّجُلُ المُسْلِمُ بَاطِلٌ إِلاَّ
رَمْيُهُ بِقَوْسِهِ وَتَأْدِيْبُهُ فَرَسُهُ وَمُلاَعَبَتُهُ أَهْلُهُ
فَإِنَّهُنَّ مِنَ الحَقِّ
Semua perbuatan sia-sia yang dikerjakan seorang laki-laki muslim
adalah batil, kecuali : melempar panah, melatihkan kuda dan mencumbui istrinya.
Semua itu termasuk hak. (HR. At-Tirmizy)
h. Hadits Kedelapan : Haramnya Lonceng
Haramnya musik juga dikaitkan dengan haramnya keberadaan lonceng
di dalam rumah. Dan memang ada beberapa hadits yang secara tegas mengharamkan
lonceng, di antaranya :
الجَرَسُ مَزَامِيْرِ الشَّيْطَانِ
Lonceng itu adalah serulingnya setan (HR. Muslim)
لاَ تَدْخُلُ المَلآئِكَةُ بَيْتًا فِيْهِ جُلْجُلْ وَلاَ جَرَسٌ لاَ
تَصْحَبُ المَلآئِكَةُ رُفْقَةً فِيْهَا كَلْبٌ أَوْ جَرَسٌ
Malaikat tidak akan masuk ke dalam rumah yang di dalamnya terdapat
jul-jul dan lonceng. Dan malaikat tidak akan menemani orang-orang yang di rumah
mereka ada anjing dan lonceng. (HR. Muslim)
أَنَّ رَسُولَ اللهِ أَمَرَ باِلأَجْرَاسِ أَنْ تُقْطَعَ مِنْ
أَعْنَاقِ الإِبِلِ يَوْمَ بَدْرٍ
Bahwa Rasulullah SAW memerintahkan agar untuk memotong lonceng
dari leher unta pada hari Badar. (HR. Ahmad dan Ibnu Hibban)
B. Dalil Yang Menghalalkan Musik dan Lagu
Para ulama yang tidak mengharamkan nyanyian dan musik juga punya
hujjah yang tidak bisa dianggap enteng. Hujjah mereka justru dengan cara
mengkritisi dalil-dalil yang digunakan oleh pihak yang mengharamkan. Dimana
pada intinya mereka menyatakan bahwa semua dalil yang dipakai, meski jumlahnya
banyak, tapi tak satu pun yang tepat sasaran.
1. Jawaban Atas Dalil Quran
Lima ayat yang digunakan oleh mereka yang mengharamkan nyanyian
dan musik adalah ayat yang sama sekali tidak menyinggung sedikit pun tentang
nyanyian dan musik itu sendiri.
Kalau pun dipaksakan untuk ditafsirkan menjadi nyanyian dan lagu,
sifatnya semata-mata hanya penafsiran yang subjektif dan dilakukan oleh hanya
beberapa gelintir ulama ahli tafsir saja. Sama sekali tidak bisa dikatakan
bahwa tafsiran itu mewakili pendapat seluruh mufassirin.
Jadi paling jauh, kita hanya bisa mengatakan bahwa sebagian ulama
memang mengharamkan nyanyian dan lagu lewat ayat-ayat tersebut, namun sifatnya
tidak mutlak, lebih merupakan pendapat subjektif dari beberapa orang di antara
ulama.
a. Surat Luqman : Lahwal Hadits
وَمِنَ النَّاسِ مَن يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَن
سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُواً أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ
مُّهِينٌ
Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan
yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa
pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan
memperoleh azab yang menghinakan. (QS. Luqman : 6)
Istilah lahwal-hadits (لهو الحديث) di dalam surat Luqman, memang
cukup sering ditafsirkan oleh beberapa ulama sebagai nyanyian dan lagu. Namun
para ulama yang tidak berpendapat seperti itu jumlahnya jauh lebih banyak lagi.
Misalnya Adh-Dhahhak, beliau menafsirkannya isitlah ini sebagai
syirik, dan bukan nyanyian dan musik. Sedangkan Al-Hasan mengatakan bahwa
maknanya adalah syirik dan kufur.
Ibnu Hazm menolak pengharaman musik bila menggunakan ayat ini,
dengan beberapa alasan, antara lain :
Pertama, penafsiran versi Mujahid tidak bisa diterima, karena yang
berhak menjelaskan Al-Quran hanyalah Rasulullah SAW. Dan beliau SAW tidak
menjelaskan seperti yang ditafsirkan oleh Mujahid.
Kedua, penafsiran Mujahid ini sifatnya sepihak saja, tidak
mewakili penafsiran kebanyakan ulama. Sementara ada begitu banyak shahabat dan
tabi’in yang menghalalkan musik.
Ketiga, kalau ditafsirkan bahwa yang dimaksud lahwa-hadits itu
hanya terbatas alat musik, maka penafsiran ini batil. Sebab bisa saja orang
membeli benda yang lain lalu digunakan untuk menyesatkan orang dijadikan
permainan.
Katakanlah misalnya ada orang membeli mushaf Al-Quran, lalu
dijadikan alat untuk menyesatkan orang dan permainan. Lantas apakah haram hukumnya
membeli mushaf Al-Quran hanya karena ada orang tertentu yang menjadikannya
sebagai penyesat dan permainan?
Jawabnya tentu tidak. Kalau mau mengharamkan, seharusnya yang
diharamkan adalah ketika menjadikan suatu benda sebagai alat untuk menyesatkan manusia
dan permainan, bukan mengharamkan benda tersebut.
a. Surat Al-Anfal : Siulan dan Tepukan
Ketika berhujjah dengan ayat tentang tentang orang-orang kafir di
zaman jahiliyah beribadah dengan cara bertepuk dan bersiul, sehingga hasil
kesimpulannya bahwa nyanyian dan musik itu menjadi haram, maka metode
pengambilan kesimpulan hukumnya terlihat lemah sekali.
وَمَا كَانَ صَلاَتُهُمْ عِندَ الْبَيْتِ إِلاَّ مُكَاء وَتَصْدِيَةً
فَذُوقُواْ الْعَذَابَ بِمَا كُنتُمْ تَكْفُرُونَ
Sembahyang mereka di sekitar Baitullah itu, lain tidak hanyalah
siulan dan tepukan tangan. Maka rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu.
(QS. Al-Anfal : 35)
Ayat ini tidak secara langsung menyebutkan tentang musik dan lagu.
Ayat ini hanya bercerita tentang bagaimana orang-orang di masa jahiliyah
melakukan ibadah dengan cara bersiul-siul dan bertepuk-tepuk tangan.
Kemudian oleh kalangan yang ingin mengharamkan lagu dan musik,
perbuatan orang-orang jahiliyah di masa lalu yang diceritakan di ayat ini
kemudian dikaitkan dengan keharaman bernyanyi dan bermusik.
Padahal yang diharamkan adalah menyembah Allah dengan cara bersiul
dan bertepuk tangan, yang mana hal itu merupaan perbuatan orang-orang kafir di
masa jahiliyah.
Adapun bersiul dan bertepuk tangan di luar konteks ibadah kepada
Allah, sama sekali tidak terkait dengan hukum halal dan haram. Artinya, tidak
ada keharaman dari bertepuk dan bersiul, asalkan tidak ada berkaitan dengan
ibadah. Misalnya adat dan budaya serta gestur yang ada di suatu masyarakat
dalam berkomunikasi dengan sesama, tentu tidak bisa diharamkan begitu saja.
Di suatu peradaban tertentu, rasa kagum atas suatu hal biasa
diungkapkan dengan cara bersiul. Atau rasa hormat dan bahagia biasa diungkapkan
dengan bahasa tubuh yaitu bertepuk tangan spontan. Bahasa tubuh seperti itu
tidak bisa begitu saja dikaitkan dengan sebuah peribadatan di peradaban yang
lain.
Kalau bersiul dan bertepuk tidak selalu menjadi haram, apalagi
bernyanyi dan bermusik, yang sama sekali tidak ada hubungannya. Maka kita tidak
tepat rasanya mengharamkan nyanyian dan musik dengan menggunakan ayat ini.
b. Surat Al-Isra’ : Suara
Kalangan yang mengharamkan nyanyian dan musik juga menggunakan
ayat berikut sebagai dasar untuk mengharamkannya.
وَاسْتَفْزِزْ مَنِ اسْتَطَعْتَ مِنْهُمْ بِصَوْتِكَ
Dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan
ajakanmu (QS. Al-Isra’ : 64)
Mereka mengatakan bahwa salah seorang ahli tafsir, yaitu Mujahid
telah memaknainya kalimat bi shautika (بصوتك) sebagai al-ghina (الغناء), yaitu
nyanyian dan lagu. Sehingga ayat ini dianggap ayat yang mengharamkannya.
Padahal pendapat itu hanya pendapat satu orang saja, yaitu
Mujahid. Tanpa mengurangi rasa hormat kepada beliau, kita pun tidak harus
selalu terpaku kepada pendapatnya. Sebab masih banyak ulama ahli tafsir yang
tidak berpendapat demikian. Misalnya dengan penafsiran Ibnu Abbas yang
mengatakan bahwa maknanya adalah segala ajakan yang mengajak ke arah maksiat
kepada Allah.
Nampaknya Departemen Agama RI lebih menggunakan Tafsir Ibnu Abbas
dari pada pendapat Mujahid. Sebab kalau kita baca terjemahan ayat ini dalam
versi Departemen Agama RI, kata itu diterjemahkan menjadi : ‘dengan ajakanmu’,
sama sekali tidak terkait dengan urusan nyanyian dan musik.
c. Surat Al-Furqan : Az-Zuur
Mereka yang mengharamkan nyanyian dan musik juga seringkali
menggunakan ayat berikut ini sebagai dasar pengharaman.
وَالَّذِينَ لاَ يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ
مَرُّوا كِرَاماً
Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan
apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan
perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga
kehormatan dirinya. (QS. Al-Furqan : 72)
Mereka berlindung di balik pendapat Mujahid, bahwa kata la
yasyhaduna az-zuur itu maknanya adalah : tidak mendengarkan nyanyian atau lagu.
Muhammad bin Al-Hanafiyah mengatakan hal yang sama.
Padahal nyaris kebanyakan pendapat para ulama ahli tafsir tidak
sampai ke arah haramnya nyanyian dan lagu, karena terlalu jauh penyimpangan
maknanya.
Ayat ini menceritakan tentang ciri-ciri orang yang disebut sebagai
ibadurrahman atau hamba-hamba Allah yang beriman, dimana salah satu cirinya
adalah orang yang tidak memberikan kesaksian palsu.
Kalau pun ada ulama yang menafsirkan maknanya, tidak selalu berupa
haramnya nyanyian dan musik. Misalnya penafsrian Ibnu Katsir yang mengatakan
bahwa la yasyhaduna az-zuur adalah tidak melakukan syirik atau menyembah
berhala.
Titik pangkalnya adalah pada kata yasyhaduna az-zuur (يشهدون
الزور), yang di dalam terjemahan versi Departemen Agama RI diartikan dengan :
memberi kesaksian palsu, sebagaimana zhahirnya lafadz ayat ini.
d. Surat Al-Qashash : Laghwi
Kalangan yang mengharamkan nyanyian dan musik berdalih bahwa
keduanya merupakan perbuatan sia-sia atau laghwi, sehingga hukumnya haram.
Namun kalangan yang menghalalkannya menjawab bahwa tidak semua perbuatan laghwi
dilarang di dalam syariat Islam. Bahkan Al-Quran sendiri menyebutkan ada jenis
laghwi yang tidak mendatangkan dosa.
Salah satunya adalah orang yang berlaghwi ketika mengucapkan
sumpah, dimana Allah SWT tidak mempermasalahkannya, sebagaimana tersebut pada
ayat berikut :
لاَ يُؤَخِذُكُمُ اللَهُ بِالَلغُو ِفِي أَيُمَانَكمُ
Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak
dimaksud, tetapi Allah menghukum kamu disebabkan yang disengaja oleh hatimu.
Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun. (QS. Al-Baqarah : 225)
f. Surat An-Najm : Samidun
Ayat lainnya yang juga sering ditafsirkan sebagai musik atau lagu
adalah potongan ayat di dalam surat An-Najm.
أَفَمِنْ هَذَا الْحَدِيثِ تَعْجَبُونَ وَتَضْحَكُونَ وَلاَ
تَبْكُونَ وَأَنتُمْ سَامِدُونَ
Maka apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini? Dan kamu
mentertawakan dan tidak menangis? Sedang kamu melengahkan(nya)? (QS. An-Najm :
59-61)
Yang menjadi titik perhatian adalah kata samidun (سامدون). Dalam
terjemahan yang kita baca dalam versi Departemen Agama, kata itu berarti orang
yang lengah.
Namun beberapa ahli tafsir mengaitkannya dengan lagu dan nyanyian.
Misalnya Abdullah bin Al-Abbas radhiyallahu mengatakan bahwa yang dimaksud
dengan samidun di ayat ini adalah al-mughannun (المغنون), yaitu orang-orang
yang bernyanyi atau mendendangkan lagu. Hal yang sama dikatakan oleh Ikrimah.
Sedangkan Adh-Dhahhak menafsirkan as-samud (السمود) sebagai
al-lahwu wa al-la’bu (اللهو و اللعب), yang artinya pekerjaan yang sia-sia dan
permainan.
Maka ayat ini menurut mereka menyebutkan sifat-sifat buruk yang
dilakukan, yaitu ketika dibaca ayat-ayat Al-Quran, mereka malah
bernyanyi-nyanyi.
2. Jawaban Atas Dalil Hadits
Kalau dihitung-hitung, hadits-hadits yang sering dijadikan alasan
untuk mengharamkan nyanyian dan musik memang cukup banyak. Namun masalahnya
sebagian dari hadits itu bermasalah, baik dari segi isnad maupun dari segi
istidlal.
Abu Bakar Ibnul Arabi di dalam kitab Al-Ahkam menyebutkan dengan
tegas bahwa tidak ada satu pun hadits yang shahih di antara hadits-hadits yang
sering dijadikan dasar untuk mengharamkan musik.
Senada dengan di atas, Ibnu Thahir di dalam kitabnya As-Sima’,
juga mengatakan tidak ada satu huruf pun yang shahih dari hadits-hadits yang
mengharamkan musik.
Ibnu Hazm di dalam kitab Al-Muhalla menyebutkan : tidak ada satu
pun hadits shahih dalam bab tentang haramnya musik ini. Semuanya hadits
maudhu’.
Mari kita bahas satu persatu hadits-hadits yang banyak digunakan oleh
merekayang mengharamkan nyanyian dan musik.
a. Hadits Pertama : Sharih Tapi Tidak Shahih
Kalangan yang mengharamkan nyanyian dan musik menggunakan hadits
berikut ini sebagai dalil.
إِذَا فَعَلَتْ أُمَّتِي خَمْسَ عَشْرَةَ خَصْلَةً حَل بِهَا الْبَلاَءُ
وَعَدَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْهَا : وَاتَّخَذَتِ الْقَيْنَاتِ
وَالْمَعَازِفَ
Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahuanhu bahwa
Rasulullah SAW bersabda,”Apabila umatku telah mengerjakan lima belas perkara,
maka telah halal bagi mereka bala’. Dan beliau SAW menghitung salah satu di
antaranya adalah umatku memakai alat-alat musik”. (HR. Tirmizy)
Namun yang jadi masalah adalah meski matan hadits ini dari segi
istidlal termasuk sangat jelas dan tegas menyebut nama alat musik, sehingga
tidak bisa ditafsirkan menjadi sesuatu yang lain, bahkan acamannya juga jelas,
yaitu bala’, tetapi sayangnya para ulama umumnya memvonis hadits ini lemah.
Bahkan perawinya sendiri, yaitu Al-Imam At-Tirmizy, jelas-jelas menyebutkan
dalam Sunan At-Tirmiziy, bahwa tersebut tidak shahih.
Maka bagi mereka yang menghalalkan nyanyian dan musik, hadits ini
tidak bisa dijadikan landasan untuk mengharamkannya. Karena hukum halal haram
tidak boleh dilandasi dengan hadits yang status hukumnya lemah.
b. Hadits Kedua : Sharih Tapi Tidak Shahih
إِنَّ اللَّهَ بَعَثَنِي رَحْمَةً وَهُدًى لِلْعَالَمِينَ
وَأَمَرَنِي أَنْ أَمْحَقَ الْمَزَامِيرَ وَالْكِنَّارَاتِ
Diriwayatkan dari Abi Umamah radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW
bersabda,”Sesungguhnya Allah SWT telah mengutusku menjadi rahmat dan petunjuk
bagi alam semesta. Allah SWT telah memerintahkan aku untuk menghancurkan
seruling dan alat-alat musik”. (HR. Ahmad)
Hadits ini juga tegas sekali menyebutkan tentang salah satu tugas
Rasulullah SAW, yaitu menghancurkan seruling dan alat-alat musik. Kalau
seandainya hadits ini shahih, pastilah para ulama tidak pernah berbeda pendapat
tentang kewajiban menghancurkan alat-alat musik. Atau setidak-tidaknya,
mengharamkan alat musik secara aklamasi.
Masalahnya justru karena hadits kedua ini juga didhaifkan oleh
banyak ulama, di antaranya Al-Haitsami menyebutkan bahwa dalam rangkaian para
perawinya ada seorang perawi yang dhaif bernama Ali bin Yazid.
Maka wajar kalau sebagian ulama ada yang mengharamkan alat-alat
musik, namun sebagian lagi tidak memandang keharaman alat-alat musik, lantaran
dalil yang digunakan untuk mengharamkannya justru bermasalah, karena merupakan
hadits dhaif.
Dan hadits dhaif memang boleh digunakan untuk meningkatkan
semangat dalam mendapatkan keutamaan, tetapi seluruh ulama sepakat menolak
hadits dhaif untuk menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.
c. Hadits Ketiga : Shahih Tapi Tidak Sharih
لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ
وَالْحَرِيرَ وَالخَمْرَ وَالمَعَازِفَ
Akan ada dari umatku suatu kaum yang menghalalkan kemaluan,
sutera, khamar dan alat musik. (HR. Bukhari)
Para ulama membicarakan dan memperselisihkan hadits-hadits tentang
haramnya nyanyian dan musik ini, yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahihnya,
dari Abi Malik Al-Asy’ari. Hadits ini walaupun terdapat dalam hadits Shahih
Bukhari, tetapi para ulama memperselisihkannya.
Banyak diantara mereka yang mengatakan bahwa hadits ini adalah
hadits mu’alaq (sanadnya terputus), diantaranya dikatakan oleh Ibnu Hazm.
Mengapa demikian?
Ternyata hadits ini termasuk dalam kategori mu’allaqat (معلقات),
meski pun Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani berijtihad bahwa hadits ini
tersambung lewat sembilan jalur periwayatan. Namun semua jalur itu melewati
satu orang perawi yang banyak diperdebatkan oleh para ulama, yaitu perawi
bernama Hisyam bin Ammar.
Di antara perdebatan mereka antara lain apa yang dikomentari Abu
Daud tentang Hisyam, yaitu sebagai orang yang meriwayatkan 400 hadits yang
tidak ada asalnya. Abu Hatim menyebutnya sebagai pernah berstatus shaduq tapi
kemudian sudah berubah.
An-Nasa’i menyebutnya sebagai : la ba’sa bihi. Sebutan ini tidak
menghasilkan mutlak kepercayaan. Sedangkan mereka yang tidak mempermasalahkan
Hisyam, bersikeras menyebut bahwa Bukhari tidak mencacatnya.
Selain itu Hisyam ini adalah khatib di Damaskus, juga ahli
Al-Quran serta juga ahli hadits negeri itu. Disamping itu diantara para ulama
menyatakan bahwa matan dan sanad hadits ini tidak selamat dari kegoncangan
(idhtirab).
Katakanlah, bahwa hadits ini shahih, karena terdapat dalam hadits
Shahih Bukhari, tetapi nash dalam hadits ini masih bersifat umum, tidak
menunjuk alat-alat tertentu dengan namanya.
Batasan yang ada adalah bila ia melalaikan. Kalau pun periwayatan
hadits ini diterima, apa-apa yang disebutkan itu tidak semuanya haram secara
mutlak. Misalnya sutera yang hanya diharamkan buat laki-laki, sedangkan
perempuan dibolehkan memakainya. Hadits ini juga tidak menyebutkan zina dengan
istilah zina, melainkan dengan istilah hira (الحِرَ).
Makna aslinya adalah kemaluan atau farji. Namun kemudian mengalami
pergeseran makna menjadi zina. Maka kalau kita gunakan makna aslinya, yaitu
menghalalkan kemaluan, hukumnya tidak mutlak salah. Sebab menghalalkan kemaluan
bisa dengan cara yang benar, seperti lewat pernikahan atau menyetubuhi budak.
Maka ketika Nabi SAW menyebut alat musik, sifatnya tidak mutlak haram, tetapi
maksudnya bila alat-alat musik itu membawa madharat yang memang dilarang. Maka
barulah hukumnya haram.
d. Hadits Keempat :
Haramnya suara musik juga didasarkan pada hadits berikut ini yang
secara jelas-jelas menyebutkan bahwa suara seruling itu merupakan hal yang
terlaknat di dunia dan akhirat.
صَوْتَانِ مَلْعُوْنَانِ فيِ الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ : مِزْمَارٌ
عِنْدَ نِعْمَةٍ وَرَنَّةٌ عِنْدَ مُصِيْبَةٍ
Dua jenis suara yang dilaknat di dunia dan di akhirat, yaitu suara
seruling ketika ada kenikmatan dan suara tangisan ketika musibah. (HR.
Al-Bazzar)
e. Hadits Kelima :
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ قَالَ إنَّ
اللَّهَ حَرَّمَ الْخَمْرَ وَالْمَيْسِرَ وَالْكُوبَةَ وَالْغُبَيْرَاءَ
Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu bahwa Nabi SAW
bersabda,”Sesungguhnya Allah SWT telah mengharamkan khamar, judi, kubah dan
ghubaira’ (HR. Ahmad dan Abu Daud)
إنَّ اللَّهَ حَرَّمَ عَلَى أُمَّتِي الْخَمْرَ وَالْمَيْسِرَ
وَالْمِزْرَ وَالْكُوبَةَ وَالْقِنِّينَ
Sesungguhnya Allah SWT telah mengharamkan atas umatku dari khamar,
judi, mizar, kubah dan qinnin. (HR. Ahmad)
f. Hadits Keenam : Menutup Telinga Bukan Berarti Haram
عَنْ نَافَعٍ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ سَمِعَ صَوْتَ زِمَارَةِ رَاٍع
فَوَضَعَ أُصْبُعَيْهِ فيِ أُذُنَيْهِ وَعَدَلَ رَاحِلَتَهُ عَنِ الطَّرِيْقِ
وَهُوَ يَقُولُ : يَا نَافِع أَتَسْمَعُ ؟ فَأَقُولُ : نَعَمْ فَيَمْضِي حَتىَّ
قُلْتُ : لاَ فَرَفَعَ يَدَهُ وَعَدَلَ رَاحِلَتَهُ إِلىَ الطَّرِيْقِ وَقَالَ :
رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ سَمِعَ زِمَارَةَ رَاعٍ فَصَنَعَ مِثْلَ هَذَا -
رواه أحمد وأبو داود وابن ماجه ‘
Dari Nafi bahwa Ibnu Umar mendengar suara seruling gembala, maka
ia menutupi telingannya dengan dua jarinya dan mengalihkan kendaraannya dari
jalan tersebut. Ia berkata:’Wahai Nafi’ apakah engkau dengar?’. Saya
menjawab:’Ya’. Kemudian melanjutkan berjalanannya sampai saya berkata :’Tidak’.
Kemudian Ibnu Umar mengangkat tangannya dan mengalihkan kendaraannya ke jalan
lain dan berkata: Saya melihat Rasulullah SAW mendengar seruling gembala
kemudian melakukan seperti ini’ (HR Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah).
Hadits ini punya dua kelemahan sekaligus, yaitu dari segi isnad
dan istidlal. Dari segi sanad, hadits ini divonis sebagai hadits munkar oleh
Abu Daud. Meski pun ada juga yang menentangnya. Namun kalau pun hadits ini
diterima dari segi isnad, masih juga bermasalah dari segi istidlal.
Mengapa?
Karena hadits ini sama sekali tidak menyebutkan halal atau
haramnya mendengar suara musik secara eksplisit. Hadits ini memang dari segi
istidlah bisa ditafsirkan menjadi dasar keharaman mendengar suara musik. Namun
kesimpulan itu belum tentu tepat sasaran. Karena ada beberapa kejanggalan dalam
detailnya, seperti :
Pertama, seandainya hukum mendengar suara musik itu memang
benar-benar haram, seharusnya Ibnu Umar tidak pergi dan berlalu dari
penggembala. Seharusnya beliau melarang si penggembala meniup seruling. Sebagai
ahli fiqih di zamannya, tidak boleh hukumnya buat beliau mendiamkan
kemungkaran, dan hanya sekedar menghindar. Tapi yang beliau lakukan hanya
menghindar saja, tidak melarang. Berarti kalau peristiwa disimpulkan sebagai
haramnya musik adalah kesimpulan yang kurang tepat.
Kedua, seandainya hukum mendengar musik itu memang benar-benar
haram secara mutlak, maka seharusnya Ibnu Umar tidak hanya menutup telinganya
sendirian. Seharusnya beliau juga memerintahkan pembantunya, Nafi’, untuk ikut
juga menutup telinga, seperti yang beliau lakukan dan sebagaimana yang konon dilakukan
oleh Rasulullah SAW.
Tetapi kenyataannya, Ibnu Umar sama sekali tidak memerintahkan
Nafi’ untuk menutup telinga. Malah beliau bertanya apakah Nafi’ masih
mendengarnya. Maka karena tidak ada kejelasan pasti tentang mendengar musik
haram apa tidak di hadits ini, bisa saja kita berasumsi bahwa ketika Rasulullah
SAW menutup telinganya, bukan karena haramnya, melainkan karena sebab-sebab
yang lain.
Sebab-sebab yang lain itu misalnya karena momentumnya tidak tepat.
Mengingat di waktu-waktu tertentu, Rasulullah SAW justru membolehkan nyanyian
dan musik diperdengarkan dan dimainkan, misalnya ketika Hari Raya, pernikahan
atau ketika dalam peperangan.
Atau boleh jadi si penggembala kurang pandai memainkan alat
musiknya sehingga terkesan memekakkan telinga, fals dan sumbang. Sehingga
beliau SAW menutup telinganya sambil meninggalkannya.
Padahal kalau seandainya meniup seruling itu haram, seharusnya
Rasulullah SAW bukan menutup telinga, tetapi beliau menegur penggembala itu
secara langsung. Mustahil buat seorang Nabi mendiamkan kemungkaran di depan
mata. Karena hal itu berarti tidak amanah dalam menjalankan tugas-tugas
kenabian.
g. Hadits Ketujuh Batilnya Semua Yang Sia-sia
Sebagian kalangan yang ingin mengharamkan nyanyian dan musik
menggunakan hadits tentang semua perbuatan sia-sia hukumnya batil, kecuali
memanah, melatih kuda dan bercumbu dengan istri.
كُلُّ مَا يَلْهُو بِهِ الرَّجُلُ المُسْلِمُ بَاطِلٌ إِلاَّ
رَمْيُهُ بِقَوْسِهِ وَتَأْدِيْبُهُ فَرَسُهُ وَمُلاَعَبَتُهُ أَهْلُهُ
فَإِنَّهُنَّ مِنَ الحَقِّ
Semua perbuatan sia-sia yang dikerjakan seorang laki-laki muslim
adalah batil, kecuali : melempar panah, melatihkan kuda dan mencumbui istrinya.
Semua itu termasuk hak. (HR. At-Tirmizy)
Kelemahan hadits ini ada dua, yaitu dari segi keshahihannya dan dari
istidlalnya. Dari segi sanad, Al-Hafidz Al-‘Iraqi menyebutkan bahwa ada
idhthirab di dalam hadits ini.
Sedangkan kelemahan dari segi istidlal bahwa hadits ini sama
sekali tidak menyebut nyanyian dan musik sebagai sesuatu yang batil. Sedangkan
kalau dikatakan bahwa nyanyian dan musik itu termasuk batil karena umumnya
hadits ini, yang tidak batil hanya ada tiga perbuatan saja, maka akan ada
begitu banyak perbuatan yang batil di sekeliling kita.
Logika seperti ini ibarat ingin membunuh lalat dengan menggunakan
meriam. Lalatnya belum tentu mati, tetapi korban yang lain sudah pasti.
Hadits Kedelapan :
Haramnya Lonceng Haramnya musik juga dikaitkan dengan haramnya
keberadaan lonceng di dalam rumah. Namun suara lonceng itu tidak selalu mutlak
haram. Buktinya, kadang-kadang yang justru didengar oleh Rasulullah ketika
menerima wahyu adalah suara lonceng
Oleh: Ustadz Ahmad Sarwat
Sumber: http://www.ustsarwat.com/v.php?id=100&=halal-haramnya-musik-dalam-deretan-dalil-dalil-syari.htm
jadi kesimpulannya, musik dan nyayian tidak diperbolehkan di dalam Islam?
BalasHapus> tapi saya mau tanya, gimana sekolah di Muhammadiyah yang sedikit banyak ada menggunakan nyanyian & alat musik
Jadi kesimpulannya apa ya? Apa disimpulkan sendiri?
BalasHapusBaca Panjang Panjang kok gak ada kesimpulannya ya
BalasHapusBaca Panjang Panjang kok gak ada kesimpulannya ya
BalasHapusWAAA
BalasHapusSilakan simpulkan sendiri
BalasHapus