Bukan hal yang aneh kalau sebelum shalat, pak
imam mengingatkan para jamaah sambil memeriksa barisan, ”Mohon shafnya dirapat
dan diluruskan”.
Tapi pernahkan berdiri di samping Anda jamaah
yang suka memepet-mepetkan kakinya ke kaki Anda? Bahkan hampir menginjak anda
atau kaki jamaah lain?
Kalau Anda pernah mengalaminya, dan agak
merasa risih, terus terang Penulis juga pernah mengalaminya. Dan ternyata tidak
sedikit mereka yang mengalami dipepet-pepet seperti itu.
Sampai ada seorang jamaah di satu masjid
curhat kepada penulis,”Pokoknya saya tidak mau shalat di samping dia!”,
katanya. ”Kenapa?” tanya Penulis. ”Kakinya itu lho, masak saya dipepet-pepet
terus sampai mau diinjak. Shalat saya malah jadi tidak khusyu’.”
Beberapa hari yang lalu, Penulis ditanya
seseorang tentang hadits keharusan saling menempelnya mata
kaki, sebagai bentuk kesempurnaan shaf. Katanya haditsnya shahih diriwyatkan
oleh Al-Bukhari dalam kitab Shahihnya. Dan ternyata memang hadits inilah yang
disinyalir menjadi pijakan teman-teman yang beranggapan bahwa kaki harus
benar-benar nempel dengan kaki jamaah lain.
Masalah ini mari kita bahas dengan kepala
dingin, dengan merujuk ke kitab-kitab para ulama yang muktamad. Mari kita
telusuri dan dengan seksama apa komentar para ulama dalam hal ini.
A. Nash Hadits
Tidak keliru kalau dikatakan bahwa keharusan
menempel itu berdasarkan hadits-hadits yang shahih, bahkan diriwayatkan oleh
Bukhari. Dan jumlahnya bukan hanya satu, tetapi cukup banyak kita
temukan.
Namun kalau kita teliti di hulunya, rata-rata
semuanya kembali kepada dua di level shahabat; yaitu riwayat Anas bin
Malik dan An-Nu’man bin Basyir radhiyallahuanhuma.
Sampai disini, kita semua sepakat bahwa urusan
menempel ini memang ada haditsnya dan statusnya adalah hadits yang
shahih.
Tetapi apakah kalau suatu hadits itu shahih,
lantas bisa langsung menjadi dipastikan hukumnya jadi wajib? Dan apakah berdosa
kalau tidak diamalkan?
Jawabnya tentu tidak sekedar bilang iya. Kita
perlu lihat dulu apa dan bagaimana penjelasan dari para fuqaha dan ulama
tentang urusan pengertian hadits ini.
Sebab kajian yang ilmiyah adalah kajian yang
berciri hati-hati dan tidak terlalu terburu-buru mengambil kesimpulan. Mari
kita bahas dahulu analisa para ulama.
1. Hadits Riwayat Anas bin Malik
حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ خَالِدٍ قَالَ:
حَدَّثَنَا زُهَيْرٌ عَنْ حُمَيْدٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ فَإِنِّي أَرَاكُمْ
مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِي وَكَانَ أَحَدُنَا يُلْزِقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ
وَقَدَمَهُ بِقَدَمِهِ»
Dari Anas bin Malik dari Nabi Muhammad
shallaAllah alaih wasallam: ”Tegakkanlah shaf kalian, karena saya melihat
kalian dari belakang pundakku.” ada diantara kami orang yang menempelkan
bahunya dengan bahu temannya dan telapak kaki dengan telapak kakinya.(HR. Al-Bukhari)
Al-Imam Al-Bukhari mencantumkan teks hadits
ini dalam kitab As-Shahih, pada Bab Merapatkan Pundak Dengan Pundak dan
Telapak Kaki dengan Telapak Kaki, hal. 1/146.
Catatan
Riwayat dari Anas bin Malik radhiyallahuanhu menggunakan
redaksi [القدم], sehingga Imam Bukhari pun mengawali hadits dengan judul
merapatkan pundak dengan pundak dan telapak kaki dengan telapak kaki.
2. Hadits Riwayat an-Nu’man bin Basyir
وَقَالَ النُّعْمَانُ بْنُ بَشِيرٍ: رَأَيْتُ
الرَّجُلَ مِنَّا يُلْزِقُ كَعْبَهُ بِكَعْبِ صَاحِبِهِ
An-Nu’man bin Basyir berkata: Saya melihat
laki-laki diantara kami ada yang menempelkan mata kakinya dengan mata kaki
temannya(HR. Bukhari)
Hadits kedua ini juga diriwayatkan oleh
Al-Imam Al-Bukhari dalam kitab As-Shshahih, pada bab yang sama dengan hadits di
atas.
Catatan
Hadits kedua ini mu’allaq dalam shahih
Bukhari, hadits ini lengkapnya adalah:
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ, حَدَّثَنَا زَكَرِيَّا,
عَنْ أَبِي الْقَاسِمِ الْجَدَلِيِّ, قَالَ أَبِي: وحَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ
هَارُونَ, أَخْبَرَنَا زَكَرِيَّا, عَنْ حُسَيْنِ بْنِ الْحَارِثِ أَبِي
الْقَاسِمِ, أَنَّهُ سَمِعَ النُّعْمَانَ بْنَ بَشِيرٍ, قَالَ: أَقْبَلَ رَسُولُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِوَجْهِهِ عَلَى النَّاسِ, فَقَالَ:
" أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ, ثَلَاثًا وَاللهِ لَتُقِيمُنَّ صُفُوفَكُمْ أَوْ
لَيُخَالِفَنَّ اللهُ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ " قَالَ: " فَرَأَيْتُ
الرَّجُلَ يُلْزِقُ كَعْبَهُ بِكَعْبِ صَاحِبِهِ, وَرُكْبَتَهُ بِرُكْبَتِهِ
وَمَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِهِ
An-Nu’man bin Basyir berkata: Rasulullah
menghadap kepada manusia, lalu berkata: Tegakkanlah shaf kalian!; tiga kali.
Demi Allah, tegakkanlah shaf kalian, atau Allah akan membuat perselisihan
diantara hati kalian. Lalu an-Nu’man bin Basyir berkata: Saya melihat laki-laki
menempelkan mata kakinya dengan mata kaki temannya, dengkul dengan dengkul dan
bahu dengan bahu.
Selain diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari,
hadits-hadits ini juga diriwayatkan oleh para ulama hadits, diantaranya
·
Al-Imam Abu Daud dalam kitab
Sunan-nya, 1/ 178,
·
Al-Imam Ahmad bin Hanbal dalam
kitab Musnad-nya, hal. 30/378,
·
Al-Imam Ad-Daraquthni dalam
kitab Sunan-nya hal. 2/28,
·
Al-Imam Al-Baihaqi dalam kitab
Sunan-nya hal. 1/123]
Catatan
Setelah Nabi memerintahkan menegakkan shaf,
shahabat yang bernama An-Nu’man bin Basyir radhiyallahuanhu melihat
seorang laki-laki yang menempelkan mata kaki, dengkul dan bahunya kepada
temannya.
B. Kajian dan Pembahasan Hadits
Dalam pembahasan hadits kali ini, kita akan
kemukakan dahulu komentar para ulama terkait implementasi hukum dari hadits
ini.
Memang para ulama berbeda-beda dalam memberi
komentar serta menarik kesimpulan hukum. Ada yang cenderung agak galak
mengharuskan kita melihat tektualnya, dan dan ada juga yang melihat
maqashidnya. Kita mulai dari yang cukup ”galak” dalam memahami hadits ini.
1. Komentar Syeikh Nashiruddin Al-Albani
Syeikh Nashiruddin al-Albani (w. 1420 H) dalam
kitabnya, Silsilat al-Ahadits as-Shahihah, hal. 6/77 menuliskan :
وقد أنكر بعض الكاتبين في العصر الحاضر هذا
الإلزاق, وزعم أنه هيئة زائدة على الوارد, فيها إيغال في تطبيق السنة! وزعم أن
المراد بالإلزاق الحث على سد الخلل لا حقيقة الإلزاق, وهذا تعطيل للأحكام العملية,
يشبه تماما تعطيل الصفات الإلهية, بل هذا أسوأ منه
Sebagian penulis zaman ini telah mengingkari
adanya ilzaq (menempelkan mata kaki, dengkul, bahu) ini, hal ini bisa dikatakan
menjauhkan dari menerapkan sunnah. Dia menyangka bahwa yang dimaksud dengan
“ilzaq” adalah anjuran untuk merapatkan barisan saja, bukan benar-benar
menempel. Hal tersebut merupakan ta’thil (pengingkaran) terhadap hukum-hukum
yang bersifat alamiyyah, persis sebagaimana ta’thil (pengingkaran) dalam sifat
Ilahiyyah. Bahkan lebih jelek dari itu.
Al-Albani secara tegas memandang bahwa yang
dimaksud ilzaq dalam hadits adalah benar-benar
menempel. Artinya, sesama mata kaki, sesama dengkul dan sesama bahu harus benar
nempel dengan orang di sampingnya. Dan itulah yang dia katakan sebagai SUNNAHNabi.
Tak hanya berhenti sampai disitu, Al-Albani
dalam bukunya juga mengancam mereka yang tidak sependapat dengan pendapatnya,
sebagai orang yang ingkar kepada sifat Allah.
Maksudnya kalau orang berpendapat bahwa ilzaq itu
hanya sekedar anjuran untuk merapatkan barisan, dan bukan benar-benar saling
menempelkan bahu dengan bahu, dengkul dengan dengkul , dan mata kaki dengan
mata kaki, sebagai orang yang muatthil. Maksudnya orang itu
dianggap telah ingkar terhadap sifat Allah, bahkan keadaanya lebih jelek dari
itu.
Untuk itu pendapat Al-Albani ini didukung oleh
murid-murid setianya. Dimana-mana mereka menegaskan bahwa ilzaq ini
disebut sebagai sunnah mahjurah, yaitu sunnah yang telah banyak ditinggalkan
oleh orang-orang. Oleh karena itu perlu untuk dihidup-hidupkan lag di masa
sekarang.
Wah, pedas juga komentarnya. Kira-kira
siapakah penulis abad ini yang dimaksud al-Albani ya?
2. Syeikh Bakr Abu Zaid :
Imam Masjid An-Nabawi Anggota Hai'at Kibar Ulama Saudi Arabia
Syeikh Bakr Abu Zaid (w. 1429 H) adalah salah
seorang ulama Saudi yang pernah menjadi Imam Masjid Nabawi, dan menjadi salah
satu anggota Haiah Kibar Ulama Saudi. Beliau menulis kitab yang berjudul La
Jadida fi Ahkam as-Shalat(Tidak Ada Yang Baru Dalam Hukum Shalat), hal.
13. Dalam tulisannya Syiekh Bakr Abu Zaid agak berbeda dengan pendapat
Al-Albani :
وإِلزاق الكتف بالكتف في كل قيام, تكلف ظاهر
وإِلزاق الركبة بالركبة مستحيل وإِلزاق الكعب بالكعب فيه من التعذروالتكلف
والمعاناة والتحفز والاشتغال به في كل ركعة ما هو بيِّن ظاهر.
Menempelkan bahu dengan bahu di setiap berdiri
adalah takalluf (memberat-beratkan) yang nyata. Menempelkan dengkul dengan
dengkul adalah sesuatu yang mustahil, menempelkan mata kaki dengan mata kaki
adalah hal yang susah dilakukan.
Bakr Abu Zaid melanjutkan:
فهذا فَهْم الصحابي - رضي الله عنه - في
التسوية: الاستقامة, وسد الخلل لا الإِلزاق وإِلصاق المناكب والكعاب. فظهر أَن
المراد: الحث على سد الخلل واستقامة الصف وتعديله لا حقيقة الإِلزاق والإِلصاق
Inilah yang difahami para shahabat dalam
taswiyah shaf: Istiqamah, menutup sela-sela. Bukan menempelkan bahu dan mata
kaki. Maka dari itu, maksud sebenarnya adalah anjuran untuk menutup sela-sela,
istiqamah dalam shaf, bukan benar-benar menempelkan.
Jadi, menurut Syeikh Bakr Abu Zaid (w. 1429 H)
hadits itu bukan berarti dipahami harus benar-benar menempelkan mata mata kaki,
dengkul dan bahu. Namun hadits ini hanya anjuran untuk merapatkan dan
meluruskan shaf.
Haditsnya sama, tapi berbeda dalam
memahaminya. Pendapat Bakr Abu Zaid ini berseberangan dengan pendapat
Al-Albani. Hanya saja al-Albani cukup ”galak”, dengan mengatakan bahwa yang
berbeda dengan pemahaman dia, dianggap lebih jelek daripada ta’thil/ inkar
terhadap sifah Allah.
3. Komentar Muhammad bin Shalih al-Utsaimin
Mari kita telusuri lagi pendapat yang lain,
kita temui ulama besar Saudi Arabia, Syeikh Shalih al-Utsaimin (w. 1421 H).
Beliau ini juga pernah ditanya tentang menempelkan mata kaki. Dan beliau
pun menjawab saat itu dengan jawaban yang agak berseberangan dengan pendapat
Al-Albani.
أن كل واحد منهم يلصق كعبه بكعب جاره لتحقق
المحاذاة وتسوية الصف, فهو ليس مقصوداً لذاته لكنه مقصود لغيره كما ذكر بعض أهل
العلم, ولهذا إذا تمت الصفوف وقام الناس ينبغي لكل واحد أن يلصق كعبه بكعب صاحبه
لتحقق المساواة, وليس معنى ذلك أن يلازم هذا الإلصاق ويبقى ملازماً له في جميع
الصلاة.
Setiap masing-masing jamaah hendaknya
menempelkan mata kaki dengan jamaah sampingnya, agar shaf benar-benar lurus.
Tapi menempelkan mata kaki itu bukan tujuan intinya, tapi ada tujuan lain. Maka
dari itu, jika telah sempurna shaf dan para jamaah telah berdiri, hendaklah
jamaah itu menempelkan mata kaki dengan jamaah lain agar shafnya lurus.
Maksudnya bukan terus menerus menempel sampai selesai shalat.
Lihat : Muhammad bin Shalih al-Utsaimin; w.
1421 H, Fatawa Arkan al-Iman, hal. 1/ 311
Ternyata Syiekh Al-Utsaimin sendiri memandang
bahwa menempelkan mata kaki itu bukan tujuan inti. Menempelkan kaki itu
hanyalah suatu sarana bagaimaan agar shaf shalat bisa benar-benar lurus.
Jadi menempelkan mata kaki dilakukan hanya di
awal sebelum shalat saja. Dan begitu shalat sudah mulai berjalan, sudah tidak
perlu lagi. Maka tidak perlu sepanjang shalat seseorang terus berupaya
menempel-nempelkna kakinya ke kaki orang lain, yang membuat jadi tidak khusyu'
shalatnya.
4. Komentar Ibnu Rajab al-Hanbali
Ibnu Rajab al-Hanbali (w. 795 H) termasuk
ulama besar yang menulis kitab penjelasan dari Kitab Shahih Bukhari. Ibnu Rajab
menuliskan:
حديث أنس هذا: يدل على أن تسوية الصفوف: محاذاة
المناكب والأقدام.
Hadits Anas ini menunjukkan bahwa yang
dimaksud meluruskan shaf adalah lurusnya bahu dan telapak kaki.
lihat : Ibnu Rajab al-Hanbali; w. 795 H, Fathu
al-Bari, hal.6/ 282.
Nampaknya Ibnu Rajab lebih memandang bahwa
maksud hadits Anas adalah meluruskan barisan, yaitu dengan lurusnya bahu dan
telapak kaki. Komentar Ibnu Hajar (w. 852 H)
Ibnu Hajar al-Asqalani menuliskan:
الْمُرَادُ بِذَلِكَ الْمُبَالَغَةُ فِي
تَعْدِيلِ الصَّفِّ وَسَدِّ خَلَلِهِ
Maksud hadits ”ilzaq” adalah berlebih-lebihan
dalam meluruskan shaf dan menutup celah. [Ibnu Hajar, Fathu al-Bari, hal.
2/211]
Memang disini beliau tidak secara spesifik
menjelaskan harus menempelkan mata kaki, dengkul dan bahu. Karena maksud
haditsnya adalah untuk berlebih-belihan dalam meluruskan shaf dan menutup
celahnya.
C. Point-Point Penting
Diatas sudah dipaparkan beberapa pemahaman
ulama terkait haruskah mata kaki selalu ditempel-tempelkan dengan sesama jamaah
dalam satu shaf.
Sekarang mari kita lanjutkan dengan nalar dan
penelitian kita sendiri. Pertanyaannya adalah : apakah menempelkan mata kaki
itu sunnah Nabi SAW atau bukan? Dalam arti apakah hal itu merupakan contoh
langsung dari Nabi SAW atau bentuk perintah yang secara nash beliau SAW
menyebut : HARUS MENEMPEL, kalau tidak nanti masuk neraka?
1. Menempelkan Mata Kaki Dalam Shaf Bukan Tindakan Atau Anjuran Nabi SAW
Bukankah haditsnya jelas Shahih dalam Shahih
Bukhari dan Abu Daud?
Iya sekilas memang terkesan bahwa menempelkan
itu perintah beliau SAW. Tapi keshahihan hadits saja belum cukup tanpa
pemahaman yang benar terhadap hadits shahih.
Jika kita baca seksama teks hadits dua riwayat
diatas, kita dapati bahwa ternyata yang Nabi SAW anjurkan adalah menegakkan
shaf. Perhatikan redaksinya :
أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ
Tegakkah barisan kalian
Itu yang beliau SAW katakan. Sama sekali
beliau SAW tidak berkata, ”Tempelkanlah mata kaki kalian!”. Dan beliau juga
tidak main ancam siapa yang tidak melakukannya dianggap telah kafir atau ingkar
dengan sifat-sifat Allah. Yang bilang seperti itu hanya Al-Albani seorang. Para
ulama sepanjang zaman tidak pernah berkata seperti itu, kecuali murid-murid
pendukungnya saja.
Dan Nabi SAW sendiri dalam shalatnya juga
tidak pernah melakukan hal itu.
2. Menempelkan Mata Kaki Adalah Pemahaman Salah Satu Dari Shahabat
Coba kita baca lagi haditsnya dengan seksama.
Dalam riwayatnya disebutkan:
·
[وَكَانَ أَحَدُنَا] dan
salah satu dari kami
·
[رَأَيْتُ الرَّجُلَ
مِنَّا] saya melihat seorang laki-laki dari kami
·
[فَرَأَيْتُ الرَّجُلَ] saya
melihat seorang laki-laki
Meskipun dengan redaksi yang berbeda, tetapi
kesemuanya merujuk pada makna bahwa ”salah satu” sahabat Nabi ada yang
melakukan hal itu. Maka hal itu adalah perbuatan dari salah satu sahabat Nabi,
hasil dari pemahamannya setelah mendengar perintah Nabi agar menegakkan shaf.
Terkait ucapan atau perbuatan shahabat,
Al-Amidi (w. 631 H) salah seorang pakar Ushul Fiqih menyebutkan:
ويدل على مذهب الأكثرين أن الظاهر من الصحابي
أنه إنما أورد ذلك في معرض الاحتجاج وإنما يكون ذلك حجة إن لو كان ما نقله مستندا
إلى فعل الجميع لأن فعل البعض لا يكون حجة على البعض الآخر ولا على غيرهم
Menurut madzhab kebanyakan ulama’, perbuatan
shahabi menjadi hujjah jika didasarkan pada perbuatan semua shahabat. Karena
perbuatan sebagian tidak menjadi hujjah bagi sebagian yang lain, ataupun bagi
orang lain.
Lihat :Al-Amidi; w. 631 H, Al-Ihkam fi
Ushul al-Ahkam, hal. 2/99
Jadi, menempelkan mata kaki itu bisa menjadi
hujjah jika dilakukan semua shahabat. Dari redaksi hadits, kita dapati bahwa
menempelkan mata kaki dilakukan oleh seorang laki-laki pada zaman Nabi. Kita
tidak tahu siapakah lelaki itu. Lantas bagaimana dengan Anas yang telah
meriwayatkan hadits?
3. Anas tidak melakukan hal itu
Jika kita baca teks hadits dari Anas bin Malik
dan An-Nu’man bin Basyir di atas, sebagai dua periwayat hadits, ternyata mereka
berdua hanya melihat saja. Mereka malah tidak melakukan apa yang mereka
lihat.
Kenapa?
Karena yang melakukannya bukan Rasulullah SAW
sendiri. Dan para shahabat yang lain juga tidak melakukannya. Yang melakukannya
hanya satu orang saja. Itupun namanya tidak pernah disebutkan alias anonim.
Hal itu diperkuat dengan keterangan Ibnu Hajar
al-Asqalani (w. 852 H) melanjutkan riwayat Anas bin Malik:
وَزَادَ مَعْمَرٌ فِي رِوَايَتِهِ وَلَوْ
فَعَلْتُ ذَلِكَ بِأَحَدِهِمُ الْيَوْمَ لَنَفَرَ كَأَنَّهُ بغل شموس
Ma’mar menambahkan dalam riwayatnya dari Anas;
jika saja hal itu saya lakukan sekarang dengan salah satu dari mereka saat ini,
maka mereka akan lari sebagaimana keledai yang lepas. [Ibnu Hajar, Fathu al-Bari, hal. 2/211]
Jika menempelkan mata kaki itu sungguh-sungguh
anjuran Nabi, maka mereka sebagai salaf yang shalih tidak akan lari dari hal
itu dan meninggalkannya.
Perkataan Anas bin Malik, ”jika saja hal itu
saya lakukan sekarang” memberikan pengertian bahwa Anas sendiri tidak
melakukannya saat ini.
4. Bukankah Itu Sunnah Taqririyyah?
Barangkali para pembela pendapat
tempe-menempel matakaki itu berhujjah, jika ada suatu perbuatan yang dilakukan
di hadapan Nabi SAW, sedang beliau SAW diam saja dan tidak melarangnya, maka
perbuatan itu disebut sunnah taqririyyah. Jadi termasuk sunnah juga.
Jawabnya, tentu benar sekali bahwa hal itu
merupakan sunnah taqririyah. Tapi perlu diingat, bahwa diamnya Nabi ketika ada
suatu perbuatan dilakukan dihadapannya itu tidak berfaedah kecuali hanya
menunjukkan bolehnya hal itu.
Contoh sunnah taqririyyah adalah makan daging
dhab dan ’azl yaitumengeluarkan sperma diluar kemaluan istri. Meskipun keduanya
sunnah taqririyyah, tapi secara hukum berhenti sampai kita sekedar dibolehkan
melakukannya.
Dan sunnah taqririyah itu tidak pernah sampai
kepada hukum sunnah yang dianjurkan, dan tentu tidak bisa menjadi kewajiban.
Apalagi sampai main ancam bahwa orang yang tidak melakukannya, dianggap telah
ingkar kepada sifat-sifat Allah. Ini adalah sebuah fatwa yang agak emosional
dan memaksakan diri. Dan yang pasti fatwa seperti ini sifatnya menyendiri tanpa
ada yang pernah mendukungnya.
Tidak bisa kita bayangkan, cuma gara-gara ada
shahabat makan daging dhab dan melakukan azal, dan kebetulan memang Nabi SAW
tidak melarangnya, lantas kita berfatwa seenaknya untuk mewajibkan umat Islam
sedunia sepanjang zaman sering-sering makan daging biawak. Yang tidak doyan
makan daging biawak divonis telah ingkar kepada sifat-sifat Allah.
5. Susah Dalam Prakteknya
Penulis kira, jika pun dianggap menempelkan
mata kaki itu sebagai anjuran, tak ada diantara kita yang bisa mempraktekannya.
Jika tidak percaya, silahkan saja dicoba
sendiri menempelkan mata kaki, dengkul dan bahu dalam shaf.
D. Kesimpulan
Berangkat dari pertanyaan awal, apakah mata
kaki ”harus” menempel dalam shaf shalat?
Ada dua pendapat; pertama yang mengatakan
harus menempel. Ini adalah pendapat Nashiruddin al-Albani (w. 1420 H). Bahkan
beliau mengatakan bahwa yang mengatakan tidak menempel secara hakiki itu lebih
jelek dari faham ta’thil sifat Allah.
Pendapat kedua, yang mengatakan bahwa
menempelkan mata kaki itu bukan tujuan utama dan tidak harus. Tujuan intinya
adalah meluruskan shaf. Jikapun menempelkan mata kaki, hal itu dilakukan
sebelum shalat, tidak terus menerus dalam shalat. Ini adalah pendapat Utsaimin.
Dikuatkan dengan pendapat Bakr Abu Zaid.
Sampai saat ini, penulis belum menemukan
pendapat ulama madzhab empat yang mengharuskan menempelkan mata kaki dalam shaf
shalat.
Merapatkan dan meluruskan shaf tentu anjuran Nabi.
Tapi jika dengan menempelkan mata kaki, malah shalat tidak khusyu’ dan
mengganggu tetangga shaf juga tidak baik.
Wallahu a’lam
Hanif Luthfi, S.Sy.
JAVA COMPUTER
AJIBARANG
Computer Service Center - Education, - Maintanance - Sale
Repair Computer, Laptop/NoteBook, Printer.
Lembaga Kusus dan Pelatihan Jln. Pandansari No.9
Ijin Pemda dan Telah Divalidasi
Kementrian Pendidikan Nasional Jakarta
Akta Notaris Henny Dwi BudiastutyAnggraeni, S.H, M.Kn.
Akta Notaris Henny Dwi BudiastutyAnggraeni, S.H, M.Kn.
Ajibarang - Banyumas - Jawa Tengah
Mobile: 085 743 622 909
Panggilan Ke Rumah maupun Kantor
Panggilan Ke Rumah maupun Kantor
Hari Minggu/Libur Buka
0 komentar:
Posting Komentar