Buya Hamka, ulama besar ini
menyampaikan isi hatinya
dalam Majalah Panjimas yang diasuhnya. Setelah mengritik
mantan Menteri Subandrio –di sidang Mahmilub- yang hingga
tuanya tidak mengenal rakaat shalat dan Yusuf Muda Dalam
yang tidak mengerti bahwa beristri lebih dari empat dilarang
dalam Islam, HAMKA menyatakan:
dalam Majalah Panjimas yang diasuhnya. Setelah mengritik
mantan Menteri Subandrio –di sidang Mahmilub- yang hingga
tuanya tidak mengenal rakaat shalat dan Yusuf Muda Dalam
yang tidak mengerti bahwa beristri lebih dari empat dilarang
dalam Islam, HAMKA menyatakan:
“Inilah contohnya orang-orang yang memegang
kekuasaan
negara di masa Orde Lama. Mengaku percaya kepada
Tuhan
Yang Maha Esa di bibir, tetapi tidak pernah mendekatkan diri
kepada Tuhan menurut agama yang mereka peluk sebagai pusaka dari ayah bundanya. Sehingga terbaliklah keadaan; orang yang tekun kepada Tuhan; mengerjakan perintah dan menghentikan larangan Tuhan, dipandang anti Pancasila, orang yang taat mengerjakan agama di cap reaksioner atau kontra revolusioner.
Yang Maha Esa di bibir, tetapi tidak pernah mendekatkan diri
kepada Tuhan menurut agama yang mereka peluk sebagai pusaka dari ayah bundanya. Sehingga terbaliklah keadaan; orang yang tekun kepada Tuhan; mengerjakan perintah dan menghentikan larangan Tuhan, dipandang anti Pancasila, orang yang taat mengerjakan agama di cap reaksioner atau kontra revolusioner.
“Bersuluh kepada matahari, bergelanggang di mata
orang banyak”, bagaimana setiap hari hukum-hukum agama itu dilanggar, didurhakai. Zina menjadi kemegahan, minuman keras diminum
laksana minum air teh saja, uang negara dihamburkan untuk kepentingan pribadi. Tidak ada sedikit juga rupanya
rasa takut kapada Tuhan. Karena Tuhan itu hanya untuk penghias
pidato, bukan untuk penghias hidup, budi moral dan mental.
Mereka pun melanggar dasar negara yang kedua, yaitu
PriKemanusiaan. Tengoklah bagaimana sengsaranya rakyat. Tengoklah kelaparan, karena banjir di Solo, karena
letusan Gunung Agung di Bali, karena letusan Gunung Kelud,
bencana kelaparan di Lombok. Tidak seorang juga diantara
mereka itu yang sudi meringankan langkah buat melihat keadaan
rakyat yang malang dan sengsara itu… Peri Kemanusiaan : dalam prakteknya orang-orang yang dicemburui, dibenci dan dipandang akan menghalangi langkah-langkah mereka meneruskan kezaliman itu. Sampai Sutan Syahrir mati dalam status tahanan.
Mereka ditahan, kadang-kadang rumah kediamannya dirampas
dan dengan seenaknya didiami oleh khadam-khadam
(pembantu) para pembesar itu. Benar-benar berlaku di negeri ini
sebagai yang berlaku berates tahun yang laludi zaman
kekuasaan raja-raja tidak terbatas, yang nasib malang akan
menimpa orang yang dibenci oleh pihak istana. Dan anak istri
orang yang ditahan itu dibiarkan melarat.
Alangkah banyaknya paradoks di dalam negara yang
berdasar Pancasila di zaman itu. Mobil mewah pejabat meluncur
di atas jembatan, sedang dibawahnya tidur orang-orang
yang kehabisan tenaga buat hidup. Yang di atas menikmati
rasa kemerdekaan, yang di bawah terlempar ke dalam lumpur kehinaan sejak negara merdeka. Disorak-soraikan amanat penderitaan rakyat. Alangkah
seramnya jika dikaji bahwa kata-kata Amanat Penderitaan Rakyat itu diungkapkan oleh pemimpin-pemimpin itu sendiri, padahal merekalah yang mengkhianatinya. Mereka belum merasa puas kalau belum ada undang-undang untuk menyikat bersih dari masyarakat orang-orang yang dibenci, sedang kesalahan mereka yang terang tidak ada.
seramnya jika dikaji bahwa kata-kata Amanat Penderitaan Rakyat itu diungkapkan oleh pemimpin-pemimpin itu sendiri, padahal merekalah yang mengkhianatinya. Mereka belum merasa puas kalau belum ada undang-undang untuk menyikat bersih dari masyarakat orang-orang yang dibenci, sedang kesalahan mereka yang terang tidak ada.
Lalu diadakan Penetapan Presiden (Pen-Pres) buat
menangguk sisa-sisa orang yang dibenci yang masih tinggal,
orang-orang yang dipandang masih ada pengaruhnya dalam
masyarakat. Dengan “dugaan saja, walaupun tidak ada bukti sama
sekali orang bisa dibenamkan ke dalam tahanan. Itulah
Pen-Pres No 11 yang terkenal dengan sebutan Undang-Undang
Subversif… Indonesia benar-benar menjadi “Mercusuar” dari
kebrobokan. Indonesia diteropong, bahkan di mikroskop oleh bangsa
lain, lalu menjadi tertawaan. Tetapi surat-surat kabar
yang memuat berita tentang kebrobokan dilarang masuk
Indonesia.
Sebentar-sebentar diadakan pidato, rapat raksasa,
rapat samudera. Diobati perut yang lapar dengan pidato, diobat
jalan-jalan yang rusak dengan pidato. Rakyat dikerahkan dengan
segala macam daya upaya supaya dari subuh sudah berangkat
ke tanah lapang mendengarkan pidato. Perusahaan-perusahaan wajib menutup usahanya dan mengerahkan buruhnya pergi mendengarkan pidato.
Produksi menurun karena hari habis untuk mendengarkan pidato… Berdirilah gedung-gedung monument, patung-patung
yang
tidak akan dapat mengenyangkan perut rakyat, yang hanya akan ditegahkan (dipertunjukkan) kepada tamu luar negeri, padahal kalau tetamu itu datang, sasaran tustel mereka bukanlah monument dan patung, melainkan rakyat yang tidur di dalam pipa air yang belum dipasang atau mandi telanjang
di kali Ciliwung.” ” (lihat Hamka, Dari Hati ke Hati, Pustaka
Panjimas,2002, hal. 259-262).
tidak akan dapat mengenyangkan perut rakyat, yang hanya akan ditegahkan (dipertunjukkan) kepada tamu luar negeri, padahal kalau tetamu itu datang, sasaran tustel mereka bukanlah monument dan patung, melainkan rakyat yang tidur di dalam pipa air yang belum dipasang atau mandi telanjang
di kali Ciliwung.” ” (lihat Hamka, Dari Hati ke Hati, Pustaka
Panjimas,2002, hal. 259-262).
JAVA COMPUTER
AJIBARANG
Computer Service Center - Education, - Maintanance - Sale
Repair Computer, Laptop/NoteBook, Printer.
Lembaga Kusus dan Pelatihan Jln. Pandansari No.9
Ijin Pemda dan Telah Divalidasi
Kementrian Pendidikan Nasional Jakarta
Akta Notaris Henny Dwi BudiastutyAnggraeni, S.H, M.Kn.
Akta Notaris Henny Dwi BudiastutyAnggraeni, S.H, M.Kn.
Ajibarang - Banyumas - Jawa Tengah
Mobile: 085 743 622 909
Panggilan Ke Rumah maupun Kantor
Panggilan Ke Rumah maupun Kantor
Hari Minggu/Libur Buka
0 komentar:
Posting Komentar