KH. Ahmad Dahlan mendirikan
Muhammadiyah tidak bersifat elitis dan sektarian, tetapi cenderung populis dan
egaliter. Keanggotaan Muhammadiyah terbuka bagi siapa saja, baik dari kelas
sosial ningart, pejabat pemerintahan, rakyat biasa, bahkan keturunan
Indo. Di samping itu, Muhammadiyah juga memiliki sensitivitas terhadap
kemodernan. Pemikiran-pemikiran cerdas dari kaum muda selalu mendapat tempat di
Muhammadiyah. Dengan karakter tersebut, Muhammadiyah memiliki daya magnet
menarik perkumpulan-perkumpulan keagamaan lokal untuk bergabung dalam
organisasi ini. Kesediaan para pimpinan Muhammadiyah menerima perbedaan
pola-pola pemikiran dan bentuk-bentuk gerakan keagamaan lokal juga menjadi
kekuatan tersendiri, sehingga banyak perkumpulan lokal akhirnya bergabung
dengan organisasi ini.
Pada awal abad ke-20, banyak
berdiri perkumpulan keagamaan lokal dengan tujuan yang berbeda-beda.
Model-model gerakannya juga berbeda-beda. Di pulau Jawa, misalnya, diantara
perkumpulan-perkumpulan keagamaan lokal yang kemudian bergabung dalam payung
besar Muhammadiyah adalah: Sidik Amanah Tabligh Vathonah (Solo), Ambudi
Agama (Pekalongan), dan Ihyaus Sunnah (Surabaya).
Sidik
Amanah Tabligh Vathonah
Perkumpulan Sidik Amanah
Tabligh Vathonah (SATV) adalah kelompok pengajian kaum muda di Kauman,
Solo, yang dirintis oleh Haji Misbcah, Koesen, Harsoloemekso, dan Darsosasmito
pada tahun 1915. Kelompok pengajian ini didirikan tiga tahun setelah kepemimpinan
Sarekat Dagang Islam (SDI) diambil alih dari H. Samanhoedi oleh H.O.S.
Tjokroaminoto. Sebagai redaktur surat kabar Oetoesan Hindia dan aktivis
pergerakan yang cukup berpengalaman, Tjokroaminoto mengubah Sarekat Dagang
Islam menjadi Sarekat Islam berpusat di Surabaya (11 November 1912).
Barangkali, kelahiran SATV merupakan reaksi terhadap kepemimpinan SDI Solo yang
mulai redup. Sebab, sebelum perkumpulan ini didirikan, Haji Misbach, Koesen,
Harsoloemekso, dan Darsosasmito adalah anggota dan pengurus SDI. Barangkali
pula, kelahiran perkumpulan ini merupakan bentuk ekspresi kekecewaan terhadap
SDI pimpinan H. Samanhoedi yang kian redup.
Pada mulanya, SATV merupakan
perkumpulan pengajian bagi para pedagang batik di Kauman dan Laweyan, tetapi
kemudian berkembang menjadi sebuah organisasi keagamaan yang menitikberatkan
perjuangan dan pemberdayaan kaum Muslimin di Solo. Sejak pertama kali berdiri
(1915), perkumpulan ini menyelenggarakan sekolah-sekolah Islam modern,
mendirikan panti asuhan, melakukan pembelaan terhadap umat Islam dan
menerbitkan surat kabar di Solo. Sekolah modern dn panti asuhan yang dirintis
SATV kurang begitu maju, tetapi gerakan pembelaan terhadap umat Islam dan
penerbitan surat kabar Medan-Moeslimin dan Islam Bergerak mampu
mengangkat nama perkumpulan ini.
Pada tahun 1915, terbit surat
kabar Mardi Rahardjo milik kelompok missionaris Kristen di Solo.
Penerbitan surat kabar ini menjadi salah satu pemicu lahirnya perkumpulan SATV.
Untuk membendung arus Kristenisasi lewat media massa, SATV menerbitkan surat
kabar Medan-Moeslimin. Haji Misbach dan Haji Hisjam Zaini menjadi
perintisnya. Namun, nomor edisi perdana surat kabar Medan-Moeslimin
justru berisi seruan memajukan agama Islam, tidak menyerang surat kabar Mardi
Rahardjo.
Selain menerbitkan Medan-Moeslimin,
perkumpulan SATV juga merintis penerbitan Islam Bergerak (1917).
Lagi-lagi Haji Misbach yang menjadi perintisnya. Dia yang berkawan dekat dengan
Mas Marco Kartodikromo dan Haji Fachrodin (Yogyakarta) meminta keduanya
bergabung dalam jajaran redaksi Medan-Moeslimin dan Islam Bergerak.
Bahkan, Haji Fachrosin termasuk tangan kanan Haji Misbcah dalam mengelola
penerbitan dua surat kabar ini.
Pada tahun 1918, Martodharsono,
pemimpin redaksi surat kabar Djawi Hisworo, menulis artikel
kontroversial yang memojokkan umat Islam di Solo. Martodharsono mantan aktivis Sarekat
Islam (SI) dan pernah menjadi kawan dekat Haji Samanhoedi dan Sosrokoernio.
Mantan aktivis SI in berbalik menyerang umat Islam lewat artikelnya yang
menyebutkan bahwa “Nabi Muhammad saw pemabuk dan pecandu opium”.
Menanggapi serangan
Martodharsono, pimpinan Centraal Sarekat Islam (CSI) membentuk komite Tentara
Kanjeng Nabi Mohammad (TKNM) sebagai upaya pembelaan terhadap umat Islam.
Ketua sub komite TKNM Solo dipegang oleh Haji Hisyam Zaini, kawan Haji Misbach.
Ketika TKNM tidak mampu memberikan pembelaan terhadap umat Islam dari serangan
Martodharsono, Haji Misbach mengambil alih kepemimpinan sub komite TKNM Solo
dari tangan Haji Hisyam Zaini. Tetapi para pimpinan CSI tidak solid menanggapi
serangan Martodharsono. Melihat perpecahan di tubuh CSI memaksa Haji Misbach
membentuk tentara Islam dengan basis massa pengajian SATV. Dengan kekuatan
tentara SATV, Haji Misbach menantang Martodharsono berdebat di depan publik
untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Tetapi debat publik ini tidak sempat
digelar karena pimpinan CSI memang tidak solid dan para pimpinan komite TKNM
sendiri terpecah. Pasca kejadian ini, Haji Misbach memilih menjadi kekuatan
oposisi di tubuh Sarekat Islam (SI Merah).
Jamaah pengajian SATV memang
sehaluan dengan gerakan pembaruan Islam di Yogyakarta (Muhammadiyah). Kelompok
pengajian di Solo ini sering mengundang mubaligh-mubaligh Muhammadiyah untuk
mengisi ceramah keagamaan di forum ini. Salah satu tokoh Muhammadiyah yang
sering diundang mengisi pengajian ini adalah KH Ahmad Dahlan, pendiri dan president
Hoofdbestuur (HB) Muhammadiyah. Pada suatu ketika, setelah selesai mengisi
pengajian di markas SATV (di rumah Moechtar Boechari), KH Ahmad Dahlan melihat
anak-anak anggota Javaansche Padvinders Organisatie (JPO) sedang latihan
di depan Pura Mangkunegaran. President HB Muhammadiyah ini tertarik
melihat aktivitas JPO. Sepulang dari Solo, KH Ahmad Dahlan meminta bantuan
Soemodirdjo (guru standaard school Suronatan) dan Sjarbini (guru standaard
school Bausasran) untuk membentuk Pandu Muhammadiyah (Hizabul Wathan).
Ketika Muhammadiyah membentuk
Bagian Tabligh pertama kali (1920) yang dipimpin oleh Haji Fachrodin, jamaah
pengajina SATV sudah menjadi jaringan dakwah Muhammadiyah. Pada tahun 1920,
Haji Misbach terlibat dalam aksi pembakaran ladang tebu sehingga dia
dijebloskan ke dalam penjara di Klaten. Selama Haji Misbach dipenjara, jabatan
pemimpin redaksi Medan-Moeslimin dipegang oleh Haji Fachrodin. Sejak
dalam kendali Haji Fachrodin, forum pengajian SATV dan surat kabar Medan-Moeslimin
menjadi pendukung Muhammadiyah. Bahkan, Haji Fachrodin telah memasukkan KH
Ahmad Dahlan (Khatib Amin) dalam jajaran redaksi. Medan-Moeslimin
bersama Moechtar Boechari, Abdul Hamid, dan Haroen Rasid.
Pada tahun 1922, Haji Misbach
bebas dari penjara. Karena perbdeaan pandangan politik, Haji Misbach
membersihkan jajaran redaksi Medan-Moeslimin dan Islam Bergerak
dari para pendukung Muhammadiyah. Haji Fachrodin, kawan dekat Haji Misbach,
juga tidak lagi sehaluan dengan politik dua surat kabar ini. Dia keluar dari
jajaran redaksi dan diikuti oleh Harsoloemekso dan Moechtar Boechari. Pasca
konflik inilah, Haji Misbach dan Sismadi Sastrosiwojo menjadi kubu yang
menentang Muhammadiyah.
Dalam vergadering pada
13 AGustus 1922 di rumah M. Sontohartono (Keprabon), struktur Muhammadiyah
cabang Solo terbentuk secara resmi dengan menempatkan M. Ng. Sastrosoegondo
sebagai ketua, Moechtar Boechari sebagai wakil ketua, Harso loemekso sebagai
sekretaris, dan M. Sontohartono sebagai bendahara (lihat Harsoloemekso, “Moehammadijah
Tjabang Soerakarta.” Soewara Moehammadijah, no. 9/th ke-3/1922). Kelompok
pengajian SATV yang sehaluan dengan Haji Fachrodin dan KH Ahmad Dahlan
bergabung dalam Persyarikatan Muhammadiyah. [mu’arif]
0 komentar:
Posting Komentar