Pada
sekitar awal abad 20, Pekajangan adalah sebuah desa kecil yang tak menarik
perhatian banyak orang. Desa ini terpencil dengan penduduk yang tidak begitu
banyak. Pekajangan terletak di sebelah selatan kota Pekalongan. Sebagaimana
penduduk desa lain di sekitar kota Pekalongan, penduduk Pekajangan memiliki
mata pencaharian sebagai petani. Pertanian yang dikelola secara sederhana,
tampaknya, menjadi mata pencaharian utama penduduk desa ini. Sekalipun
pertanian menjadi mata pencaharian utama, tetapi setiap panen padi tak mampu
menyejahterakan penduduk desa ini. Dari seluruh jumlah rumah di desa ini, hanya
sekitar dua atau tiga rumah yang dibangun menggunakan bata dan semen.
Rumah-rumah yang menggunakan atap genteng pun masih mudah dihitung dengan jari
(RM Soediardjo dkk, 1968: 7).
Selain
bertani, sebagian penduduk Pekajangan yang memiliki keahlian membuat kerajinan
tangan. Mata pencaharian yang satu ini hanya mewakili sekelompok kecil kelas
sosial yang lebih maju. Mereka membuat industri rumah tangga secara
kecil-kecilan. Di antara produk kerajinan tangan penduduk Pekajangan adalah
tenun setagen (ikat pinggang perempuan) dan kain batik
(batikkerij/batikhandel). Lahirnya industri rumah tangga memunculkan kelompok
sosial baru, yaitu kelas pedagang. Tetapi mereka hanya mewakili sekelompok
kecil dari seluruh penduduk Pekajangan pada umumnya. Namun demikian, kelas
pedagang yang memasarkan produk-produk industri rumah tangga berupa tenun
setagen dan kain batik justru menjadi kelompok yang menentukan dalam
perkembangan masyarakat ini. KH Abdurrahman, tokoh masyarakat Pekajangan yang
berhasil merintis Cabang Muhammadiyah di kawasan terpencil ini, termasuk
seorang pengusaha batik dan kerajinan tangan. Dialah yang mendirikan
perkumpulan Ambudi Agama yang bergerak di bidang pengajaran agama Islam di
Pekajangan.
KH
Abdurrahman lahir pada tahun 1879. Dia lahir di Pekajangan, Kedungwuni,
Pekalongan, dengan nama kecil Mutaman. Pada masa mudanya, Mutaman pernah
mengaji kepada Kiai Amin di Banyuurip, kemudian kepada Kiai Agus di Kenajagan,
dan kepada Kiai Abdurrahman Thaif di Wonoyoso. Terakhir, Mutaman belajar agama
kepada Kiai Idris di Pondok Jamsaren, Solo.
Mutaman,
nama kecil KH Abdurrahman, banyak menyelami kitab-kitab klasik selama belajar
di pondok pesantren. Tetapi, dia cukup banyak membaca kitab-kitab yang telah
menginspirasi para tokoh pembaruan Islam pada awal abad 20. Mutaman telah
mempelajari kitab-kitab seperti: Tafsir Al-Manar, Tafsir AlKasysyaf, Tafsir
Mafatihul Ghaib, Tafsir Ibnu Jarir At-Thabari, Tafsir Thanthowi Jauhari, Al-Um,
Al-I’tisham, Sunnah wal Mubtadi’at, Fatawa Ibnu Taimiyah, Risalah Tauhid, dan
lain-lain (RM Soediardjo dkk, 1968: 9).
Mutaman
menyempurnakan rukun Islam dengan menunaikan ibadah haji pertama kali pada
tahun 1903. Sejak saat itulah namanya telah berganti menjadi Haji Abdurrahman.
Setelah menunaikan ibadah haji pertama, Haji Abdurrahman menekuni profesi
sebagai pedagang batik dan tenun setagen yang dijual ke luar kota Pekalongan.
Jaringan perdagangannya cukup luas meliputi beberapa kota besar di Jawa. Pada
akhir Desember 1912, ketika KH Ahmad Dahlan dan kawan-kawan mendeklarasikan Persyarikatan Muhammadiyah di Yogyakarta, Haji Abdurrahman sempat mendengar kabar ini.
Tetapi, dia memang tidak berminat untuk mengetahui lebih lanjut perkumpulan
yang dideklarasikan di Loodge Gebouw Malioboro (sekarang gedung DPRD DIY) ini.
Mungkin dalam benaknya belum merasa penting mengetahui Persyarikatan tersebut.
Haji
Abdurrahman mulai merintis pengajian agama di desanya setelah menunaikan ibadah
haji yang kedua kali pada tahun 1921 bersama istri tercinta, Nyai Shofiyah. Dia
dibantu kawan-kawannya menyelenggarakan pendidikan Islam tradisional bernama
Ambudi Agama. Pelajaran pokok yang diajarkan meliputi ‘aqaid 50 dan sifat 20
bakal weruh gusti Allah (akan melihat Allah). Dari materi yang disampaikan,
tampaknya, lembaga pendidikan yang didirikan Haji Abdurrahman lebih mendalami
akidah dan tasawuf. Setelah sukses menyelenggarakan pendidikan Islam
tradisional, Haji Abdurrahman mendapat julukan “Kiai” dari para santrinya.
Lembaga
pendidikan yang dirintis KH Abdurrahman sedang tumbuh, tetapi tantangan datang
dari pemerintah kolonial. Sekolah agama yang baru saja dirintis langsung
dibubarkan oleh pemerintah. Peraturan pemerintah kolonial (staatblad 1905)
menegaskan, seluruh aktivitas pengajaran yang diselenggarakan oleh kaum
bumiputera dianggap liar. Pemerintah kolonial menyatakan sekolah-sekolah swasta
ilegal dan wajib dibubarkan. Sedangkan tenaga pengajar yang tidak mendapat izin
mengajar ditangkap. Kebijakan Goeroe Ordonantie memang bertujuan membatasi
jumlah guru agama di sekolah-sekolah bumiputera yang tidak dikelola oleh
pemerintah.
Muhammadiyah
sebagai organisasi sosial keagamaan yang paling banyak mendirikan
sekolah-sekolah swasta mengalami tekanan yang cukup berat dengan keluarnya
staatblad 1905. Tetapi, dengan kepiawaian para jajaran HB Muhammadiyah di
Yogyakarta, sekolah-sekolah Muhammadiyah mendapat izin untuk menjalankan proses
belajar mengajar sekalipun banyak jumlah guru agama yang dikurangi. KH Ahmad
Dahlan dan kawan-kawan yang kooperatif dengan kebijakan pemerintah kolonial
sedikit beruntung bisa menyelenggarakan sekolah di bawah payung organisasi
Muhammadiyah. Akan tetapi, tidak sedikit pimpinan Muhammadiyah yang cenderung
reaksioner terhadap kebijakan Goeroe Ordonantie. Salah satu tokoh Muhammadiyah
yang kontra terhadap kebijakan ini adalah Haji Fachrodin yang pada saat bersamaan
tengah menjabat sebagai Penningmeester Centraal Sarekat Islam.
KH
Abdurrahman sempat mendengar di Yogyakarta telah berdiri Persyarikatan yang
bisa mengatasi kendala-kendala akibat diterapkannya staatblad 1905. Ia sendiri
sempat ragu, apakah Persyarikatan yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlan itu
sebuah perkumpulan Islam atau bukan. Chumasi Hardjosubroto, kawan dekat KH
Abdurrahman, membisikkan pesan kepadanya bahwaPersyarikatan Muhammadiyah adalah “Perkumpulan Kristen”. Hardjosubroto sempat mencegah KH
Abdurrahman yang berniat hendak pergi ke Yogyakarta menemui para pimpinan
Muhammadiyah. Namun, dengan keyakinan teguh, pendiri perkumpulan Ambudi Agama
tersebut memberanikan diri berkunjung ke kantor HB Muhammadiyah yang beralamat
di Kauman no 44. Dia datang ke Yogyakarta diantar oleh Kiai Asmu’i, kawan
dekatnya mantan lurah di Pondok Jamsaren, Solo.
Di
kantor HB Muhammadiyah, KH Abdurrahman disambut oleh Haji Mochtar, Haji
Abdurrahman Machdun, Haji Wasool Dja’far, dan lain-lain. Dalam kesempatan tersebut,
KH Abdurrahman langsung ber-tabayyun, menanyakan apa dan bagaimana sesungguhnya
Persyarikatan Muhammadiyah. Lantas dijelaskan bahwa Muhammadiyah adalah
perkumpulan Islam yang berpedoman pada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi saw. Mendengar
penjelasan dari HB Muhammadiyah, KH Abdurrahman langsung insaf. Ia baru sadar
bahwa anggapan yang telah tersiar di masyarakat Pekajangan tentang Muhammadiyah
sebagai “Perkumpulan Kristen” adalah salah besar.
Dalam
kesempatan tersebut, KH Abdurrahman mengemukakan persoalan-persoalan yang
dihadapi selama menyelenggarakan pengajian di bawah perkumpulan Ambudi Agama
yang dipimpinnya. Ia sendiri tidak tahu bagaimana cara menyelamatkan lembaga
pendidikannya dari penerapan kebijakan kolonial (staatblad 1905). Tetapi, tokoh
Pekajangan ini sangat tertarik dengan usaha-usaha yang dilakukan Muhammadiyah
di Yogyakarta. Terbetik dalam pikirannya untuk mendirikan Muhammadiyah Cabang
(kring) Pekajangan.
HB
Muhammadiyah Yogyakarta menyambut baik niat KH Abdurrahman untuk mendirikan
Cabang di Pekajangan. Dijelaskan bahwa Muhammadiyah adalah perkumpulan
(organisasi) yang mendapat izin resmi dari pemerintah (besluit Gubernur
Jenderal Hindia Belanda tanggal 22 Agustus 1914) yang diperkenankan mendirikan
Cabang-Cabang untuk menyelenggarakan pendidikan atau pengajaran agama,
penyantunan fakir-miskin, mendirikan panti asuhan dan poliklinik. Akhirnya, KH
Abdurrahman pulang ke Pekajangan dengan hati mantap. Dia rela melebur
perkumpulan Ambudi Agama menjadi cabang Muhammadiyah di desanya. Pada 15 November
1922, HB Muhammadiyah Yogyakarta mengeluarkan surat keputusan berdirinya
Muhammadiyah Cabang Pekajangan.
Di
bawah Persyarikatan Muhammadiyah Cabang Pekajangan, seluruh kegiatan yang
dirintis KH Abdurrahman berjalan lancar. Pemerintah kolonial tidak bisa
membubarkan setiap kegiatan pengajian, karena Muhammadiyah adalah organisasi
resmi yang mendapat izin dan pengakuan dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda
(AWF Idenburg). Di bawah bendera Muhammadiyah, KH Abdurrahman merasakan
kenyamanan berdakwah tanpa mendapat rintangan dari pemerintah kolonial.
Inilah
salah satu faktor yang menyebabkan Muhammadiyah pada masa KH Ahmad Dahlan mampu
memikat perkumpulan-perkumpulan keagamaan lokal yang mendapat tantangan berat
dari pemerintah kolonial untuk bergabung di bawah bendera Muhammadiyah. Di
samping memiliki visi Islam yang berkemajuan, Muhammadiyah mampu menawarkan
solusi cerdas yang tidak dimiliki oleh perkumpulan atau organisasi Islam lain
di Tanah Air ini. [mu'arif]
Did you know there is a 12 word sentence you can communicate to your partner... that will trigger intense feelings of love and instinctual appeal to you deep inside his heart?
BalasHapusBecause deep inside these 12 words is a "secret signal" that fuels a man's impulse to love, worship and look after you with his entire heart...
12 Words That Fuel A Man's Love Instinct
This impulse is so hardwired into a man's brain that it will drive him to work harder than ever before to to be the best lover he can be.
As a matter of fact, fueling this dominant impulse is absolutely important to achieving the best possible relationship with your man that the moment you send your man one of these "Secret Signals"...
...You'll instantly notice him open his mind and soul for you in such a way he never expressed before and he'll identify you as the only woman in the galaxy who has ever truly appealed to him.