عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَيْضًا قَالَ : بَيْنَمَا نَحْنُ
جُلُوْسٌ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم ذَاتَ يَوْمٍ إِذْ
طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيْدُ بَيَاضِ الثِّيَابِ شَدِيْدُ سَوَادِ الشَّعْرِ,
لاَ يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ وَلاَ يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ, حَتَّى
جَلَسَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم, فأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ
إِلَى رُكْبَتَيْهِ, وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ, وَ قَالَ : يَا
مُحَمَّدُ أَخْبِرْنِيْ عَنِ الإِسْلاَمِ, فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّم : اَلإِسْلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَإِ لَهَ إِلاَّ اللهُ وَ
أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ, وَتُقِيْمُ الصَّلاَةَ, وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ,
وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ, وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً.
قَالَ : صَدَقْتُ. فَعَجِبْنَا لَهُ يَسْئَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ. قَالَ : فَأَخْبِرْنِيْ
عَنِ الإِيْمَانِ, قَالَ : أَنْ بِاللهِ, وَمَلاَئِكَتِهِ, وَكُتُبِهِ,
وَرُسُلِهِ, وَالْيَوْمِ الآخِرِ, وَ تُؤْمِنَ بِالْقَدْرِ خَيْرِهِ وَ شَرِّهِ.
قَالَ : صَدَقْتَ. قَالَ : فَأَخْبِرْنِيْ عَنِ الإِحْسَانِ, قَالَ : أَنْ
تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ.
قَالَ : فَأَخْبِرْنِيْ عَنِ السَّاعَةِ قَالَ : مَا الْمَسْؤُوْلُ عَنْهَا
بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ. قَالَ : فَأَخْبِرْنِيْ عَنْ أَمَارَاتِهَا, قَالَ :
أَنْ تَلِدَ الأَمَةُ رَبَّتَهَا, وَأَنْ تَرَى الْحُفَاةَ الْعُرَاةَ الْعَالَةَ
رِعَاءَ الشَّاءِ يَتَطَاوَلُوْنَ فِيْ الْبُنْيَانِ, ثم اَنْطَلَقَ, فَلَبِثْتُ
مَلِيًّا, ثُمَّ قَالَ : يَا عُمَرُ, أَتَدْرِيْ مَنِ السَّائِل؟ قُلْتُ : اللهُ
وَ رَسُوْلُهُ أَعْلَمُ. قَالَ : فَإِنَّهُ جِبْرِيْلُ أَتَاكُمْ يُعَلِّمُكُمْ دِيْنَكُمْ.
رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Umar bin Khaththab Radhiyallahu anhu
berkata : Suatu ketika, kami (para sahabat) duduk di dekat Rasululah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tiba-tiba muncul kepada kami seorang lelaki
mengenakan pakaian yang sangat putih dan rambutnya amat hitam. Tak terlihat
padanya tanda-tanda bekas perjalanan, dan tak ada seorang pun di antara kami
yang mengenalnya. Ia segera duduk di hadapan Nabi, lalu lututnya disandarkan
kepada lutut Nabi dan meletakkan kedua tangannya di atas kedua paha Nabi,
kemudian ia berkata :
“Hai, Muhammad! Beritahukan kepadaku tentang Islam.” Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
”Islam adalah, engkau bersaksi tidak
ada yang berhak diibadahi dengan benar melainkan hanya Allah, dan sesungguhnya
Muhammad adalah Rasul Allah; menegakkan shalat; menunaikan zakat; berpuasa di
bulan Ramadhan, dan engkau menunaikan haji ke Baitullah, jika engkau telah
mampu melakukannya,”
lelaki itu berkata,
”Engkau benar,”
maka kami heran, ia yang bertanya ia
pula yang membenarkannya.
Kemudian ia bertanya lagi:
“Beritahukan kepadaku tentang Iman”. Nabi
menjawab,
”Iman adalah, engkau beriman kepada
Allah; malaikatNya; kitab-kitabNya; para RasulNya; hari Akhir, dan beriman
kepada takdir Allah yang baik dan yang buruk,”
ia berkata,
“Engkau benar.” Dia bertanya lagi:
“Beritahukan kepadaku tentang ihsan”.Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
”Hendaklah engkau beribadah kepada
Allah seakan-akan engkau melihatNya. Kalaupun engkau tidak melihatNya,
sesungguhnya Dia melihatmu.” Lelaki itu berkata lagi :
“Beritahukan kepadaku kapan terjadi
Kiamat?” Nabi menjawab,
”Yang ditanya tidaklah lebih tahu
daripada yang bertanya.” Dia pun bertanya lagi :
“Beritahukan kepadaku tentang
tanda-tandanya!” Nabi menjawab,
”Jika seorang budak wanita telah
melahirkan tuannya; jika engkau melihat orang yang bertelanjang kaki, tanpa
memakai baju (miskin papa) serta pengembala kambing telah saling berlomba dalam
mendirikan bangunan megah yang menjulang tinggi.”
Kemudian lelaki tersebut segera pergi. Aku pun terdiam, sehingga Nabi bertanya kepadaku :
Kemudian lelaki tersebut segera pergi. Aku pun terdiam, sehingga Nabi bertanya kepadaku :
“Wahai, Umar! Tahukah engkau, siapa
yang bertanya tadi?” Aku menjawab,”
Allah dan RasulNya lebih mengetahui,”
Beliau bersabda,
”Dia adalah Jibril yang mengajarkan
kalian tentang agama kalian.” [HR Muslim, no. 8]
TAKHRIJ HADITS
Hadits ini secara lengkap diriwayatkan oleh Imam Muslim no.
8, dan diriwayatkan juga olehImam Ahmad (I/27,28,51,52), Abu
Dawud (no. 4695), at Tirmidzi (no.2610), an
Nasaa-i(VIII/97), Ibnu Majah (no. 63), Ibnu Mandah dalam
al Iman (1,14), ath Thoyalisi (no. 21),Ibnu Hibban (168,173), al
Aajurri dalam asy Syari’ah (II/no.205, 206, 207, 208), Abu
Ya’la(242), al Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no.2), al
Marwazi dalam Ta’zhim Qadris Shalat (no.363-367), ‘Abdullah
bin Ahmad dalam as Sunnah (no.901,908), al Bukhari dalam
Khalqu Af’aalil ‘Ibaad (190), Ibnu Khuzaimah (no.2504) dari
sahabat Ibnu ‘Umar dari bapaknya‘Umar bin Khaththab.
Hadits
ini mempunyai syawahid (penguat) dari lima orang sahabat. Mereka disebutkan
oleh al Hafizh Ibnu Hajar al ‘Asqalani dalam Fathul Baari (I/115-116), yaitu :
- Abu Dzar al Ghifari (HR Abu Dawud dan Nasaa-i).
- Ibnu ‘Umar (HR Ahmad, Thabrani, Abu Nu’aim).
- Anas (HR Bukhari dalam kitab Khalqu Af’aalil Ibaad).
- Jarir bin ‘Abdullah al Bajali (HR Abu ‘Awanah).
- Ibnu ‘Abbas dan Abu Amir al ‘Asy’ari (HR Ahmad, sanadnya hasan)
- Abu Dzar al Ghifari (HR Abu Dawud dan Nasaa-i).
- Ibnu ‘Umar (HR Ahmad, Thabrani, Abu Nu’aim).
- Anas (HR Bukhari dalam kitab Khalqu Af’aalil Ibaad).
- Jarir bin ‘Abdullah al Bajali (HR Abu ‘Awanah).
- Ibnu ‘Abbas dan Abu Amir al ‘Asy’ari (HR Ahmad, sanadnya hasan)
URGENSI HADITS
Qadhi ‘Iyaadh (wafat th. 544 H) berkata : “Hadits ini mencakup
penjelasan semua amal ibadah yang zhahir maupun bathin, di antaranya ikatan
iman, perbuatan anggota badan, keikhlasan, menjaga diri dari perusak-perusak
amal. Bahkan ilmu-ilmu syari’at, semuanya kembali kepada hadits ini dan
merupakan pecahannya”.
Beliau
melanjutkan: “Atas dasar hadits ini dan ketiga macamnya, aku menulis kitab yang
aku namakan al Maqooshid al Hisaan fii ma Yalzamul Insaan. Karena tidak
menyimpang dari yang wajib, sunnah, anjuran, peringatan, makruh dari ketiga
macamnya. Wallahu a’lam. [Syarah Shahih Muslim I/158].
Imam
Nawawi (wafat
th. 676 H) berkata,”Ketahuilah, bahwa hadits ini menghimpun berbagai macam
ilmu, pengetahuan, adab, dan kelemah-lembutan. Bahkan hadits ini merupakan
pokok Islam, seperti yang kami riwayatkan dari Qadhi ‘Iyaadh. [Ibid. I/160].
Imam al
Qurthubi (wafat
th. 671 H) berkata,”Hadits ini layak disebut sebagai Ummus Sunnah (induk
hadits), karena mengandung ilmu hadits.” [Fathul Baari I/125].
Ibnu
Daqiq al ‘Id (wafat
th. 702 H) berkata,”Hadits ini seakan menjadi induk bagi sunnah, sebagaimana al
Fatihah dinamakan Ummul Qur`an, karena ia mencakup seluruh nilai-nilai yang ada
dalam al Qur`an.” [Syarah Arba’in an Nawawiyyah, hlm. 31, oleh Ibnu Daqiq al
‘Id].
Ibnu
Rajab (wafat
th. 795 H) berkata,”Ini merupakan hadits yang agung, mencakup semua penjelasan
agama. Karenanya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata
di akhir hadits ‘ia adalah Jibril yang datang untuk mengajarkan tentang agama
kalian’ setelah menjelaskan kedudukan Islam, kedudukan iman, kedudukan ihsan.
Dan menjadikan semua itu agama.” [Jaami’ul ‘Uluum wal Hikam I/97].
RIWAYAT LENGKAP HADITS INI DALAM SHAHIH MUSLIM
Imam
Muslim meriwayatkan dengan sanadnya dari Yahya bin Ya’mur [1], ia berkata:
“Dahulu, yang pertama kali berbicara tentang Qadar di Bashrah adalah Ma’bad al
Juhani [2], maka aku (Yahya bin Ya’mur) berangkat bersama Humaid bin
Abdurrahman al Himyari untuk melaksanakan haji atau umroh. Kami berkata: “Kalau
kita bertemu salah seorang dari sahabat Nabi, maka kita akan bertanya kepadanya
tentang orang-orang yang berbicara masalah qodar. Kemudian kami melihat
‘Abdullah bin ‘Umar masuk ke dalam masjid. Maka aku dan sahabatku menggandeng
tangannya satu di kanan yang lain di kiri. Aku mengira sahabatku menyerahkan
pembicaraan kepadaku, maka aku berkata: “Wahai Abu ‘Abdirrahman, sesungguhnya
telah muncul di kalangan kami orang yang membaca Al-Qur’an dan menuntut ilmu
-lalu dia menyebutkan perkara mereka- sesungguhnya ini adalah sesuatu yang
baru.” Ibnu Umar berkata: “kalau engkau bertemu dengan mereka beritahukan bahwa
Ibnu Umar berlepas diri dari mereka dan mereka juga berlepas diri dari aku.
Demi Allah kalau seandainya salah seorang dari mereka infak sebesar gunung Uhud
emas, Allah tidak akan menerimanya sampai dia beriman kepada qodar. Kemudian
dia (Ibnu Umar) berkata: ‘Bapakku ‘Umar bin Khattab menceritakan kepadaku ……..
lalu dia menyebutkan hadits di atas.”
Dalam
kisah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim sebelum dibawakan hadits ini oleh
Yahya bin Ya’mur dan Humaid bin Abdurrahman al Himyary, ada beberapa faedah
yang bermanfaat, yaitu:
1.
Bid’ah pertama kali tentang peniadaan qadar, timbul di Bashrah pada masa
sahabat yaitu ‘Abdullah bin ‘Umar, beliau wafat tahun 73 H.
2. Para
tabi’in selalu bertanya kepada para sahabat untuk mengetahui hukum dari
perkara-perkara yang musykil, baik yang berkaitan dengan masalah aqidah maupun
yang lainnya. Hal ini adalah wajib atas setiap muslim untuk mengembalikan
urusan agama mereka kepada para ulama. Firman Allah l :
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Maka
bertanyalah kepada ahludz dzikr (ahli ilmu/ ulama) jika kamu tidak mengetahui.”
[an Nahl:43]
3. Disunnahkan bagi seluruh kaum muslimin
yang menunaikan ibadah haji dan umrah agar mereka memanfaatkan kesempatan ini
untuk mempelajari agama Islam dan memperdalamnya serta bertanya kepada para
ulama yang ada di Mekkah dan Madinah untuk mengetahui hukum-hukum agama yang
belum mereka ketahui. Sebagaimana yang dilakukan Yahya bin Ya’mur, Humaid bin
‘Abdurrahman al Himyari dan Yazid al Faqir.
Dari
Yazid al Faqir dia berkata, “Saya pernah tertarik oleh suatu pendapat kaum
khawarij, lalu kami keluar dalam satu kelompok yang berjumlah banyak, karena
kami ingin melaksanakan ibadah haji kemudian kami keluar ke tengah orang
banyak.” Yazid berkata, “Kemudian kami melewati kota Madinah. Tiba-tiba ada
Jabir bin ‘Abdullah sedang membicarakan hadits Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam kepada suatu kaum dengan duduk bersama satu
kafilah.” Yazid berkata, “kemudian Jabir bin Abdillah menyebutkan
penghuni-penghuni jahannam.” Saya berkata kepada Jabir bin ‘Abdullah, “Wahai
sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ! apa yang
kamu bicarakan ini? Sedangkan Allah Subhanahu wa Ta’alaberfirman, ‘Sesungguhnya
orang yang engkau masukkan ke dalam neraka maka sungguh engkau telah hinakan
dia.’(ali Imran:192) dan firmanNya lagi, ‘Setiap kali para penghuni
neraka itu ingin keluar dari neraka maka mereka itu selalu dilemparkan kembali
ke dalamnya.’(as Sajadah:20). Lalu apa yang kalian katakan itu?”
Jabir
bertanya, “Sudahkah kamu membaca al Qur’an? Pernahkah kamu mendengar tentang
kedudukan nabi Muhammad yang akan diangkat oleh Allah Subhanahu wa
Ta’ala ? Saya menjawab, ‘ya sudah pernah’ Jabir berkata, “Itulah
kedudukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia,
yang dengan itu Allah mengeluarkan orang dari neraka yang beliau kehendaki.”
Kemudian
Jabir bin ‘Abdullah menjelaskan letak as Shirath dan bagaimana manusia melintas
di atasnya. Hanya saja Jabir mengatakan bahwa ada satu kaum yang keluar dari
neraka setelah mereka berada didalamnya. Yakni mereka keluar dengan jasad
bagaikan biji kurma yang baru dijerang di matahari. Kemudian mereka masuk dalam
salah satu telaga surga, kemudian mereka mandi dan keluar sebersih selembar
kertas.
Kemudian
kami pulang dan mengatakan, “Celakalah kamu sekalian! Apakah kalian menganggap
seorang syaikh (Jabir bin Abdullah) membuat kebohongan terhadap Rasulullah?”
maka kami terus pulang. Sungguh demi Allah tidaklah ada yang keluar dari
kelompok kami kecuali hanya seorang. Demikianlah sebagaimana riwayat yang
disampaikan oleh Abu Nu’aim”. Abu Nu’aim adalah Fadl bin Dukain, beliau salah
seorang perawi hadits ini [Syarah shahih muslim oleh Imam an Nawawi III/50-52]
Rombongan
ini datang untuk menunaikan ibadah haji mereka mempunyai pemahaman yang salah,
yaitu orang-orang yang berbuat dosa besar tidak keluar dari neraka. Mereka
membawakan ayat-ayat yang turun untuk orang kafir dikenakan kepada kaum
Muslimin dan pemahaman ini adalah pemahaman Khawarij.
Ibnu
‘Umar memandang bahwa Khawarij adalah sejelek-jelek makhluk Allah, ia berkata
“Mereka membawakan ayat-ayat yang turun kepada orang-orang kafir dikenakan
kepada kaum mukminin.” [Fathul Baari XII/282]
Di
dalam kisah ini menunjukkan bahwa syaithan menyesatkan manusia dengan dua cara;
Pertama, orang-orang yang lalai dan berpaling dari keta’atan dihiasi dengan
syahwat kedua, orang-orang yang taat dan ahli ibadah, syetan menyesatkan mereka
dengan cara ghuluw (berlebih-lebihan) dan melemparkan syubhat kepada mereka.
(syarah hadits jibril hal.12) Imam Ibnul Qayyim berkata bahwa hati manusia
dirusak oleh fitnah syahwat dan fitnah syubhat.[3]
Kedua fitnah ini sangat berbahaya bagi manusia.
Kedua fitnah ini sangat berbahaya bagi manusia.
KANDUNGAN HADITS JIBRIL
Dari
penjelasan tentang urgensi hadits ini, kita dapat mengambil faidah di antaranya
:
1.
Menunjukkan tentang pentingnya majelis ilmu.
Karena, itu setiap ulama dianjurkan mengadakan majelis ilmu yang ditentukan waktunya, setiap sepekan sekali atau dua kali, supaya mereka tidak bosan. [4]
Karena, itu setiap ulama dianjurkan mengadakan majelis ilmu yang ditentukan waktunya, setiap sepekan sekali atau dua kali, supaya mereka tidak bosan. [4]
2.
Memperbaiki pakaian dan penampilan.
Ketika hendak masuk masjid dan akan menghadiri majelis ilmu, disunnahkan memakai pakaian yang rapi, bersih dan memakai minyak wangi. Bersikap baik dan sopan di majelis ilmu dan di hadapan para ulama adalah perilaku yang sangat baik, karena Jibril saja datang kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan penampilan dan sikap yang baik.
Ketika hendak masuk masjid dan akan menghadiri majelis ilmu, disunnahkan memakai pakaian yang rapi, bersih dan memakai minyak wangi. Bersikap baik dan sopan di majelis ilmu dan di hadapan para ulama adalah perilaku yang sangat baik, karena Jibril saja datang kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan penampilan dan sikap yang baik.
3.
Defenisi Islam
Secara etimologi, Islam berarti tunduk dan menyerah sepenuhnya kepada Allah Azza wa Jalla. Adapun secara terminology, disebutkan :
Secara etimologi, Islam berarti tunduk dan menyerah sepenuhnya kepada Allah Azza wa Jalla. Adapun secara terminology, disebutkan :
الإِ سلامُ: اَلإِستِسلاَمُ للهِ بِالتَوحَيدِ وَاالإِنقِياَدُ
لَهُ بِالطَّاعَةِ وَالبَرَاءَةُ مِنَ الشِّركِ وَأَهلِه
Islam adalah patuh dan tunduk kepada Allah dengan cara
mentauhidkan, mentaati dan membebaskan diri dari kemusyrikan dan ahli syirik. [5]
الإسلام
والاستسلام ,
menurut bahasa artinya الإنقياد . Yaitu patuh dan tunduk.
Sedangkan menurut syari’at, yaitu menampakkan ketundukan dan memperlihatkan
syari’at serta berpegang teguh dengan yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Dengan hal tersebut, terpelihara dan tercegahlah darah
dari segala yang dibenci.
Dalam
hadits di atas, kekasih Rabb semesta alam ‘alaihish shalatu wassalam mendefinisikan
Islam dengan amalan-amalan anggota badan yang tampak. Yaitu berupa perkataan
dan perbuatan. Mengucapkan dua kalimat syahadat adalah perbuatan lisan. Shalat
dan puasa adalah perbuatan badan (tubuh). Zakat harta adalah amalan pada harta,
dan haji adalah amalan pada badan dan harta.
Islam
adalah agama yang dilandaskan atas lima dasar, yaitu :
a. Mengucapkan dua kalimat syahadat ( أشْهَدُ أن لاإِله إِلاَّالله وَأَشهَدُأَنَّ مُحَمَّدًارَسُولُ الله), artinya : Aku bersaksi bahwa tiada Ilah yang berhak diibadahi dengan benar melainkan hanya Allah, dan Aku bersaksi bahwasanya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam utusan Allah.
b. Menunaikan shalat wajib pada waktunya, dengan memenuhi syarat, rukun dan memperhatikan adab dan hal-hal yang sunnah.
c. Mengeluarkan zakat.
d. Puasa pada bulan Ramadhan.
e. Haji sekali seumur hidup bagi yang mampu, mempunyai biaya untuk pergi ke tanah suci dan mampu memenuhi kebutuhan keluarga yang ditinggalkan.
a. Mengucapkan dua kalimat syahadat ( أشْهَدُ أن لاإِله إِلاَّالله وَأَشهَدُأَنَّ مُحَمَّدًارَسُولُ الله), artinya : Aku bersaksi bahwa tiada Ilah yang berhak diibadahi dengan benar melainkan hanya Allah, dan Aku bersaksi bahwasanya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam utusan Allah.
b. Menunaikan shalat wajib pada waktunya, dengan memenuhi syarat, rukun dan memperhatikan adab dan hal-hal yang sunnah.
c. Mengeluarkan zakat.
d. Puasa pada bulan Ramadhan.
e. Haji sekali seumur hidup bagi yang mampu, mempunyai biaya untuk pergi ke tanah suci dan mampu memenuhi kebutuhan keluarga yang ditinggalkan.
4.
Definisi Iman [6].
Iman adalah at tashdiq, yaitu pengakuan dan pembenaran.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendefinisikan iman dalam hadits ini sebagai keyakinan yang ada dalam batin. Dan Ahlus Sunnah berkeyakinan, iman adalah perkataan, perbuatan, dan niat (kehendak hati). Dan sesungguhnya, amal perbuatan termasuk ke dalam nama iman.
Iman adalah at tashdiq, yaitu pengakuan dan pembenaran.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendefinisikan iman dalam hadits ini sebagai keyakinan yang ada dalam batin. Dan Ahlus Sunnah berkeyakinan, iman adalah perkataan, perbuatan, dan niat (kehendak hati). Dan sesungguhnya, amal perbuatan termasuk ke dalam nama iman.
• Islam
dan Iman.
Melalui penjelasan di atas, maka kita pahami, Iman dan Islam adalah dua hal yang berbeda, baik secara etimologi maupun secara terminologi. Pada dasarnya, jika berbeda nama, tentu berbeda makna. Meskipun demikian, tidak jarang dipergunakan dengan arti yang sama, yaitu Islam berarti Iman, dan sebaliknya. Keduanya saling melengkapi. Iman menjadi sia-sia tanpa Islam, dan demikian juga sebaliknya.
Melalui penjelasan di atas, maka kita pahami, Iman dan Islam adalah dua hal yang berbeda, baik secara etimologi maupun secara terminologi. Pada dasarnya, jika berbeda nama, tentu berbeda makna. Meskipun demikian, tidak jarang dipergunakan dengan arti yang sama, yaitu Islam berarti Iman, dan sebaliknya. Keduanya saling melengkapi. Iman menjadi sia-sia tanpa Islam, dan demikian juga sebaliknya.
Apabila
nama keduanya dipisah, maka yang lain masuk ke dalam (pengertian)nya, dan
menunjukkan pada apa yang ditunjukkan oleh yang lain ketika berdiri sendiri.
Apabila keduanya digabungkan, maka salah satunya menunjukkan kepada sesuatu
bila berdiri sendiri. Jika dalam satu nash dihubungkan antara Iman dan Islam,
maka masing-masing mempunyai pengertian yang berbeda. Sehingga definisi iman
adalah, pembenaran hati disertai penetapan dan pengetahuannya. Dan pengertian
Islam ialah berserah diri kepada Allah, tunduk dan patuh kepadaNya dengan amal
perbuatan.
•
Merupakan aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah bahwasanya amal termasuk ke dalam
iman.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لَا
إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الْأَذَى عَنْ الطَّرِيقِ
وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنْ الْإِيمَانِ
Iman memiliki tujuh puluh cabang lebih. Yang paling utama ialah
ucapan Laa ilaha illallah, dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan
dari jalan. Dan malu termasuk cabang dari iman. [7]
Menyingkirkan
gangguan merupakan perbuatan dan beliau n memasukkannya ke dalam iman.
• Di
antara aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah keyakinan mereka, bahwa iman
dapat bertambah dan berkurang.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
لِيَزْدَادُوا إِيمَانًا مَّعَ إِيمَانِهِمْ
…supaya
keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada)… [al Fath : 4].
Ibnu
Baththal rahimahullah berkata : “Apabila dikatakan ‘iman
secara bahasa adalah pembenaran’, maka jawabnya, adalah ‘sesungguhnya
pembenaran akan sempurna dengan berbagai ketaatan seluruhnya. Tidaklah seorang
mu’min bertambah amal kebaikannya, melainkan imannya menjadi lebih sempurna’.
Dengan
pernyataan ini -pembenaran akan sempurna dengan ketaatan-, (maka) iman akan bertambah.
Dan dengan berkurangnya pernyataan tersebut, maka iman pun berkurang. Kapan
saja berkurang amal kebaikan, maka berkurang pula kesempurnaan iman. Kapan saja
bertambah amal kebaikan, maka bertambah pula kesempurnaannya. Inilah perkataan
pertengahan dalam masalah iman”. [8]
•
Keutamaan orang mukmin bertingkat-tingkat.
Keimanan orang-orang shiddiq yang menjadikan sesuatu yang ghaib bagi mereka seperti sesuatu yang tampak, tidak sama dengan orang-orang yang belum mencapai tingkatan ini. Termasuk di antaranya perkataan sebagian ulama : “Tidaklah Abu Bakar mendahului kalian (dalam tingkatan ini) dengan banyaknya puasa, tidak juga banyaknya shalat, akan tetapi dia mendahului kalian dengan sesuatu yang tertanam di dalam hatinya”.
Keimanan orang-orang shiddiq yang menjadikan sesuatu yang ghaib bagi mereka seperti sesuatu yang tampak, tidak sama dengan orang-orang yang belum mencapai tingkatan ini. Termasuk di antaranya perkataan sebagian ulama : “Tidaklah Abu Bakar mendahului kalian (dalam tingkatan ini) dengan banyaknya puasa, tidak juga banyaknya shalat, akan tetapi dia mendahului kalian dengan sesuatu yang tertanam di dalam hatinya”.
Inilah
rukun-rukun Iman. Siapapun yang meyakini, maka ia akan selamat dan beruntung.
Barangsiapa yang menentangnya, maka ia akan sesat dan merugi. Allah Subhanahu
wa Ta’alaberfirman :
$
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ
وَالْكِتَابِ الَّذِي نَزَّلَ عَلَىٰ رَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي أَنزَلَ مِن
قَبْلُ ۚ وَمَن يَكْفُرْ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ
وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا
Wahai orang-orang mukmin, berimanlah kepada Allah, RasulNya, kitab
suci yang telah diturunkan kepada RasulNya (Muhammad n ) dan kitab yang
diturunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kufur kepada Allah,
malaikat-malaikatNya, rasul-rasulNya, kitab-kitabNya dan hari Kiamat, maka
sungguh ia benar-benar tersesat. [an Nisaa` : 136].
Ahlus
Sunnah wal Jama’ah berkeyakinan, Iman itu bertambah dan berkurang. Sebagaimana
firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
هُوَ الَّذِي أَنزَلَ السَّكِينَةَ فِي قُلُوبِ الْمُؤْمِنِينَ
لِيَزْدَادُوا إِيمَانًا مَّعَ إِيمَانِهِمْ
Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati
orang-orang mu’min supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka
(yang telah ada). [al
Fath : 4]
.
نَّحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ نَبَأَهُم بِالْحَقِّ ۚ إِنَّهُمْ
فِتْيَةٌ آمَنُوا بِرَبِّهِمْ وَزِدْنَاهُمْ هُدًى
Kami ceritakan kisah mereka kepadamu (Muhammad) dengan
sebenarnya. Sesungguhnya mereka itu adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada
Rabb mereka dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk; [al Kahfi : 13].
5. Iman kepada Allah mencakup empat hal.
• Iman tentang adanya Allah diyakini oleh setiap makhluk.
Bahwa adanya alam semesta ini pasti ada yang menciptakan, yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena tidak mungkin seluruh alam semesta dan isinya terjadi dengan sendirinya.
• Iman tentang adanya Allah diyakini oleh setiap makhluk.
Bahwa adanya alam semesta ini pasti ada yang menciptakan, yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena tidak mungkin seluruh alam semesta dan isinya terjadi dengan sendirinya.
• Iman
tentang rububiyah Allah.
Yaitu meyakini, hanya Allah saja yang menciptakan, memiliki langit dan bumi, dan seluruh alam semesta beserta isinya, yang memberikan rezeki, mengatur alam semesta, menghidupkan dan mematikan dan lainnya.
Yaitu meyakini, hanya Allah saja yang menciptakan, memiliki langit dan bumi, dan seluruh alam semesta beserta isinya, yang memberikan rezeki, mengatur alam semesta, menghidupkan dan mematikan dan lainnya.
• Iman
tentang uluhiyah Allah.
Yaitu mengesakan Allah melalui segala pekerjaan hamba. Dengan cara itu, manusia bisa mendekatkan diri kepada Allah apabila hal itu disyari’atkan olehNya, seperti berdo’a, khauf (takut), raja` (harap), mahabbah (cinta), dzabh (penyembelihan), bernadzar, isti’anah (minta pertolongan), istighatsah (minta pertolongan saat mengalami kesulitan), isti’adzah (minta perlindungan), dan segala yang disyari’atkan dan diperintahkan Allah dengan tidak menyekutukanNya dengan sesuatu apa pun. Semua ibadah ini dan lainnya, harus dilakukan hanya kepada Allah semata dan ikhlas karenaNya. Ibadah tersebut tidak boleh dipalingkan kepada selain Allah. Tauhid ini merupakan inti dakwah para rasul, dari rasul yang pertama sampai terakhir.
Yaitu mengesakan Allah melalui segala pekerjaan hamba. Dengan cara itu, manusia bisa mendekatkan diri kepada Allah apabila hal itu disyari’atkan olehNya, seperti berdo’a, khauf (takut), raja` (harap), mahabbah (cinta), dzabh (penyembelihan), bernadzar, isti’anah (minta pertolongan), istighatsah (minta pertolongan saat mengalami kesulitan), isti’adzah (minta perlindungan), dan segala yang disyari’atkan dan diperintahkan Allah dengan tidak menyekutukanNya dengan sesuatu apa pun. Semua ibadah ini dan lainnya, harus dilakukan hanya kepada Allah semata dan ikhlas karenaNya. Ibadah tersebut tidak boleh dipalingkan kepada selain Allah. Tauhid ini merupakan inti dakwah para rasul, dari rasul yang pertama sampai terakhir.
$!
وَمَا أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ
أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ
Dan Kami tidak mengutus seorang rasul sebelum kamu, melainkan
Kami wahyukan kepadanya “Bahwasanya tidak ada Ilah (yang hak) melainkan Aku,
maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku. [al Anbiya’ : 25].
Setiap
rasul, memulai dakwahnya mengajak umat kepada tauhid uluhiyah, sebagaimana Nuh,
Hud, Shalih dan Syu’aib. [9]
يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُم مِّنْ إِلَٰهٍ غَيْرُهُ
Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Illah bagimu
selainNya. [QS
al A’raaf : 59 Lihat juga ayat 65, 73 dan 85].
Sungguh
Allah tidak akan ridha bila dipersekutukan dengan sesuatu apa pun. Bila ibadah
itu dipalingkan kepada selain Allah, maka pelakunya terjatuh kepada syirkun
akbar dan tidak diampuni dosanya.
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا
دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَاءُ
Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan
(sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang lain dari syirik itu bagi
siapa yang dikehendakiNya. [an Nisa : 48 dan 116]
• Tauhid Asma` wa Shifat.
Ahlus Sunnah menetapkan apa-apa yang Allah dan RasulNya telah tetapkan atas diriNya, baik berkaitan dengan nama-nama maupun sifat-sifat Allah; dan Ahlus Sunnah mensucikanNya dari segala aib dan kekurangan, sebagaimana hal tersebut telah disucikan oleh Allah dan RasulNya. Kita wajib menetapkan nama dan sifat Allah, sebagaimana yang terdapat di dalam al Qur`an dan as Sunnah, dan tidak boleh dita’wil (dirubah maknanya).
Ahlus Sunnah menetapkan apa-apa yang Allah dan RasulNya telah tetapkan atas diriNya, baik berkaitan dengan nama-nama maupun sifat-sifat Allah; dan Ahlus Sunnah mensucikanNya dari segala aib dan kekurangan, sebagaimana hal tersebut telah disucikan oleh Allah dan RasulNya. Kita wajib menetapkan nama dan sifat Allah, sebagaimana yang terdapat di dalam al Qur`an dan as Sunnah, dan tidak boleh dita’wil (dirubah maknanya).
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah (wafat tahun 728 H) berkata,”Manhaj Salaf dan para imam
ahlus sunnah, mereka mengimani tauhid asma` wa shifat dengan menetapkan apa
yang telah Allah tetapkan atas diriNya dan telah ditetapkan RasulNya untukNya,
tanpa tahrif dan ta’thil, serta tanpa takyif dan tamtsil. Ahlus Sunnah
menetapkan tanpa tamtsil, menyucikan tanpa ta’thil, menetapkan semua sifat
Allah dan menafikan persamaan sifat Allah dengan makhluknya”. [Lihat
penjelasannya di dalam Syarah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, hlm. 94, Cet. II].
Firman Allah :
Firman Allah :
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang
Maha Mendengar lagi Maha Melihat. [asy Syuura : 11].
Lafazh
ayat laisa kamitslihi syai’ (tidak ada yang serupa denganNya) merupakan
bantahan kepada golongan yang menyamakan sifat-sifat Allah dengan makhlukNya.
Sedangkan lafazh ayat wahuwas samii’ul bashiir (dan Dia Maha
Mendengar lagi Maha Melihat) sebagai bantahan kepada orang-orang yang menafikan
atau mengingkari sifat-sifat Allah.
I’tiqad
Ahlus Sunnah dalam masalah nama dan sifat Allah didasari atas dua prinsip.
Pertama, bahwasanya Allah wajib disucikan dari semua sifat kurang secara
mutlak, seperti ngantuk, tidur, lemah, bodoh, mati dan lainnya. Kedua, Allah
mempunyai sifat-sifat yang sempurna, tidak memiliki kekurangan sedikit pun
juga, tidak ada sesuatu pun dari makhluk yang menyamai sifat-sifat Allah. [10]
6.
Ahlus sunnah mengimani tentang adanya Malaikat.
Bahwasanya malaikat diciptakan dari cahaya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
Bahwasanya malaikat diciptakan dari cahaya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
خُلِقَتْ الْمَلَائِكَةُ مِنْ نُورٍ وَخُلِقَ الْجَانُّ مِنْ
مَارِجٍ مِنْ نَارٍ وَخُلِقَ آدَمُ مِمَّا وُصِفَ لَكُمْ
Diciptakan malaikat dari cahaya, diciptakan jin dari api yang
menyala-nyala, dan diciptakan Adam dari apa yang disifatkan kepada kalian. [HR Muslim, no. 2996,
60].
Malaikat
mempunyai sayap, sebagaimana Allah berfirman di awal surat Faathir. Dan jumlah
malaikat sangat banyak, tidak ada yang mengetahui kecuali hanya Allah. Ada
hadits yang menyatakan, bahwa Baitul Ma’mur di langit yang ke tujuh dimasuki
setiap hari oleh 70.000 malaikat. Bila mereka keluar tidak kembali lagi ke
situ. [HR Bukhari, no.3207 dan Muslim, no. 259].
Malaikat
mendapat tugas bermacam-macam dari Allah. Mereka adalah makhluk yang tidak
pernah berbuat maksiat kepada Allah, dan mereka selalu bertasbih kepada Allah.
Sifat-sifat
Malaikat Jibril.
Dia adalah ar Ruh al Amin, sebagaimana firman Allah :
Dia adalah ar Ruh al Amin, sebagaimana firman Allah :
نَزَلَ بِهِ الرُّوحُ الْأَمِينُ
Dia dibawa turun oleh ar Ruh al Amin (Jibril). [asy Syu’araa` : 193]
Allah
mensifatinya dengan sifat amanah dan suci sebagai rekomendasi yang agung dari
RabbAzza wa Jalla. Allah mensifatinya sebagai makhluk yang baik atau
berakhlak mulia, memiliki keindahan bentuk, mempunyai kedudukan di sisi Allah.
Dia adalah pemimpin para malaikat yang ditaati perintahnya di langit.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat Malaikat Jibril dalam bentuk aslinya dua kali. Yang pertama pada tiga tahun setelah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus, dan yang kedua pada malam Isra’ dan Mi’raj.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat Malaikat Jibril dalam bentuk aslinya dua kali. Yang pertama pada tiga tahun setelah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus, dan yang kedua pada malam Isra’ dan Mi’raj.
Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam menyifati Malaikat Jibril dengan kebesaran
penciptaannya (bentuknya). Disebutkan, dari Abdullah bin Mas’ud, beliau berkata
: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Jibril
dengan bentuk aslinya. Dia memiliki enam ratus sayap. Setiap satu sayap darinya
dapat menutup ufuk, lalu berjatuhan dari sayapnya macam-macam warna –sesuatu
yang bermacam-macam warnanya- dari mutiara dan yaqut”. [11]
7.
Ahlus Sunnah beriman kepada kitab-kitab yang diturunkan Allah kepada RasulNya.
Sebagai rahmat dan hidayah bagi seluruh manusia agar mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat. Kitab-kitab Taurat, Injil, Zabur, Shuhuf Ibrahim dan Musa serta al Qur`an tersebut diturunkan oleh Allah dengan benar dan bukan makhluk.
Sebagai rahmat dan hidayah bagi seluruh manusia agar mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat. Kitab-kitab Taurat, Injil, Zabur, Shuhuf Ibrahim dan Musa serta al Qur`an tersebut diturunkan oleh Allah dengan benar dan bukan makhluk.
Keistimewaan
al Qur`an dari kitab-kitab lainnya :
• Kita wajib mengimaninya secara rinci, membenarkan semua berita yang terdapat di dalamnya, melaksanakan perintahNya, menjauhkan laranganNya dan beribadah kepada Allah sesuai dengan apa yang terdapat di dalam al Qur`an dan as Sunnah.
• Al Qur`an adalah mu’jizat yang abadi. Tidak ada seorang pun jin dan manusia yang mampu untuk membuat satu surat saja seperti al Qur’an [al Israa` : 88].
• Allah menjamin untuk menjaga al Qur`an [al Hijr : 9].
• Al Qur`an sebagai tolak ukur dari kitab-kitab sebelumnya. Dan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai penjelas dari al Qur`an.
• Al Qur`an adalah kalamullah bukan makhluk, berasal dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan akan kembali kepadaNya; dan bahwasanya Allah berbicara secara hakiki.
• Kita wajib mengimaninya secara rinci, membenarkan semua berita yang terdapat di dalamnya, melaksanakan perintahNya, menjauhkan laranganNya dan beribadah kepada Allah sesuai dengan apa yang terdapat di dalam al Qur`an dan as Sunnah.
• Al Qur`an adalah mu’jizat yang abadi. Tidak ada seorang pun jin dan manusia yang mampu untuk membuat satu surat saja seperti al Qur’an [al Israa` : 88].
• Allah menjamin untuk menjaga al Qur`an [al Hijr : 9].
• Al Qur`an sebagai tolak ukur dari kitab-kitab sebelumnya. Dan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai penjelas dari al Qur`an.
• Al Qur`an adalah kalamullah bukan makhluk, berasal dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan akan kembali kepadaNya; dan bahwasanya Allah berbicara secara hakiki.
8. Iman
kepada rasul-rasul Allah.
Ahlus Sunnah beriman kepada rasul-rasul yang diutus Allah kepada setiap kaumnya. Yang dimaksud rasul adalah, orang yang diberi wahyu untuk disampaikan kepada umat. Rasul yang pertama adalah Nabi Nuh, dan yang terakhir Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setiap umat tidak pernah kosong dari nabi utusan Allah yang membawa syari’at khusus untuk kaumnya, atau dengan membawa syari’at sebelumnya yang diperbaharui.
Ahlus Sunnah beriman kepada rasul-rasul yang diutus Allah kepada setiap kaumnya. Yang dimaksud rasul adalah, orang yang diberi wahyu untuk disampaikan kepada umat. Rasul yang pertama adalah Nabi Nuh, dan yang terakhir Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setiap umat tidak pernah kosong dari nabi utusan Allah yang membawa syari’at khusus untuk kaumnya, atau dengan membawa syari’at sebelumnya yang diperbaharui.
Para
rasul adalah manusia biasa, makhluk Allah yang tidak mempunyai sedikit pun
keistimewaan rububiyah maupun uluhiyah. Mereka juga tidak mengetahui perkara
yang ghaib. Allah berfirman tentang Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi
wa sallam sebagai pemimpin para rasul dan paling tinggi derajatnya di
sisi Allah.
قُل لَّا أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعًا وَلَا ضَرًّا إِلَّا مَا
شَاءَ اللَّهُ ۚ وَلَوْ كُنتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لَاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ
وَمَا مَسَّنِيَ السُّوءُ ۚ إِنْ أَنَا إِلَّا نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِّقَوْمٍ
يُؤْمِنُونَ
Katakanlah : “Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku
dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan
sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku berbuat kebajikan sebanyak-banyaknya
dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi
peringatan dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman”. [al A’raaf : 188].
Iman
kepada Rasul mengandung empat unsur :
• Mengimani bahwa risalah mereka benar-benar dari Allah. Barangsiapa mengingkari risalah mereka, walaupun hanya seorang, maka menurut pendapat seluruh ulama, ia dikatakan kafir, sebagaimana firman Allah dalam surat Asy Syu’araa’ ayat 105.
• Mengimani bahwa risalah mereka benar-benar dari Allah. Barangsiapa mengingkari risalah mereka, walaupun hanya seorang, maka menurut pendapat seluruh ulama, ia dikatakan kafir, sebagaimana firman Allah dalam surat Asy Syu’araa’ ayat 105.
•
Mengimani nama-nama rasul yang sudah kita kenali, yang Allah sebutkan di dalam
al Qur`an dan as Sunnah yang shahih. Jumlah nabi dan rasul sangat banyak.
Menurut riwayat, jumlah nabi ada 124.000 dan jumlah rasul ada 315. Adapun yang
terkenal adalah 25 rasul.[12]
Allah
menyebutkan tentang para nabi dan rasul di dalam al Qur`an ada 25. Yaitu Adam,
Idris, Nuh, Hud, Shalih, Ibrahim, Luth, Ismail, Ishaq, Ya’qub, Yusuf, Syu’aib,
Ayyub, Dzulkifli, Musa, Harun, Dawud, Sulaiman, Ilyas, Ilyasa, Yunus, Zakaria,
Yahya, Isa dan Muhammad. Lihat surat al Imran ayat 33, Hud ayat 50, 61, 84, al
Anbiya ayat 85, al An’aam ayat 83-86 dan al Fath ayat 29.
Adapun para rasul yang tidak diketahui namanya, maka wajib bagi kita mengimani secara global. Allah berfirman:
Adapun para rasul yang tidak diketahui namanya, maka wajib bagi kita mengimani secara global. Allah berfirman:
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلًا مِّن قَبْلِكَ مِنْهُم مَّن
قَصَصْنَا عَلَيْكَ وَمِنْهُم مَّن لَّمْ نَقْصُصْ عَلَيْكَ
Dan sesungguhnya telah Kami utus beberapa orang rasul sebelum
kamu, di antara mereka ada yang kami ceritakan kepadamu, dan di antara mereka
ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu… [al Mu’min : 78]
• Membenarkan berita-berita mereka yang
shahih riwayatnya.
• Mengamalkan syari’at Rasul yang diutus kepada kita. Beliau adalah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diutus Allah kepada seluruh manusia dan penutup para nabi. Allah berfirman :
• Mengamalkan syari’at Rasul yang diutus kepada kita. Beliau adalah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diutus Allah kepada seluruh manusia dan penutup para nabi. Allah berfirman :
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا
شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ
وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Maka demi Rabb-mu, maka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga
mereka menjadikan kamu sebagai hakim terhadap perkara yang mereka
perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan
terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima sepenuhnya. [an Nisaa` : 65].
9. Iman kepada Yaumul Akhir (hari kiamat).
Yaitu mengimani yang dikabarkan atau disampaikan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang yang terjadi setelah kematian. Di antaranya : fitnah kubur, adzab kubur, nikmat kubur, dikumpulkannya manusia di Padang Mahsyar, ditegakkannya timbangan, dibukanya catatan-catatan amal, adanya hisab, al Haudh (telaga), shirath (jembatan), syafa’at, Surga dan Neraka. Firman Allah :
Yaitu mengimani yang dikabarkan atau disampaikan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang yang terjadi setelah kematian. Di antaranya : fitnah kubur, adzab kubur, nikmat kubur, dikumpulkannya manusia di Padang Mahsyar, ditegakkannya timbangan, dibukanya catatan-catatan amal, adanya hisab, al Haudh (telaga), shirath (jembatan), syafa’at, Surga dan Neraka. Firman Allah :
يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي
الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ ۖ وَيُضِلُّ اللَّهُ الظَّالِمِينَ ۚ وَيَفْعَلُ
اللَّهُ مَا يَشَاءُ
Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan
yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan akhirat; dan Allah menyesatkan
orang-orang yang zhalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki. [Ibrahim : 27].
Allah
berfirman tentang adanya adzab kubur :
النَّارُ يُعْرَضُونَ عَلَيْهَا غُدُوًّا وَعَشِيًّا ۖ وَيَوْمَ
تَقُومُ السَّاعَةُ أَدْخِلُوا آلَ فِرْعَوْنَ أَشَدَّ الْعَذَابِ
Kepada mereka dinampakkan Neraka pada pagi dan petang dan pada
hari terjadinya Kiamat. (Dikatakan kepada Malaikat) : “Masukkanlah Fir’aun dan
kaumnya kepada adzab yang sangat keras”. [al Mu’min : 46].
Allah
menciptakan kejadian-kejadian saat Kiamat datang menjelang. Salah satunya,
Allah menyuruh Malaikat Israfil meniup sangkakala, sebagaimana firmanNya :
وَنُفِخَ فِي الصُّورِ فَصَعِقَ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَمَن فِي
الْأَرْضِ إِلَّا مَن شَاءَ اللَّهُ ۖ ثُمَّ نُفِخَ فِيهِ أُخْرَىٰ فَإِذَا هُمْ
قِيَامٌ يَنظُرُونَ)
Dan ditiuplah sangkakala, maka matilah siapa yang di langit dan
di bumi, kecuali siapa yang dikehendaki Allah. Kemudian ditiup sangkakala itu
sekali lagi, maka tiba-tiba mereka berdiri menunggu (putusannya masing-masing).” [az Zumar : 68].
Ruh-ruh
ketika itu akan dikembalikan kepada jasadnya masing-masing. Maka bangkitlah
manusia dari liang kuburnya untuk menghadap Allah, Rabb semesta alam. Mereka
bangkit dengan tidak beralas kaki, tidak berpakaian dan tidak berkhitan.
Matahari dekat dengan mereka dan peluh (keringat) bercucuran membasahi tubuh.
Kemudian ditegakkan timbangan, dibukakan catatan-catatan amal, serta adanya
hisab, sebagaimana firman Allah dalam surat al Mu’minun ayat 102-104.
Kita
mengimani al Haudh (telaga) bagi Rasulullah. Airnya lebih putih daripada susu,
lebih manis dari madu, lebih harum dari minyak kesturi, panjang dan lebarnya
sejauh perjalanan satu bulan, bejana-bejananya seindah dan sebanyak bintang di
langit. Maka kaum Mukminin dari umat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan
meminum dari haudh tersebut. Siapa yang minum seteguk air darinya, maka dia
tidak akan merasa haus lagi sesudah itu.[13]
Kita
mengimani ash shirath (jembatan). Yaitu jembatan yang direntangkan di atas
Neraka Jahanam yang akan dilewati umat manusia sesuai dengan amal perbuatan
mereka. Yang pertama kali melewatinya seperti kilat, kemudian seperti angin,
seperti burung terbang, seperti orang berlari, seperti orang berjalan, dan ada
pula yang merangkak. Mereka dibawa oleh amal perbuatannya. Ketika itu Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam berdiri di atas jembatan dan berdoa : “Ya Allah,
selamatkanlah, selamatkanlah”. Pada kedua sisi jembatan itu ada kait-kait yang
digantungkan, diperintahkan untuk mengait siapa yang telah diperintahkan
kepadanya. Sehingga ada yang terkoyak tetapi selamat, dan ada pula yang
tercampakkan ke dalam api Neraka [14]. Umat yang pertama kali masuk Surga
adalah umat Nabi MuhammadShallallahu ‘alaihi wa sallam.
Pada
hari Kiamat, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mempunyai
tiga syafa’at :
• Syafa’at pertama, yaitu syafa’at `uzhma (yang agung). Diberikan kepada umat manusia di Mauqif. Yaitu saat manusia dikumpulkan Allah di Padang Mahsyar, untuk diberi keputusan. [15]
• Syafa’at kedua, yaitu syafa’at yang diberikan kepada para ahli surga untuk memasuki Surga.
Kedua syafa’at di atas khusus bagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
• Syafa’at ketiga, yaitu syafa’at yang diberikan kepada orang-orang yang berhak masuk Neraka. Syafa’at ini bersifat umum, yaitu bagi beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para nabi, serta para shiddiqin dan yang lain dari kalangan kaum Muslimin.
• Syafa’at pertama, yaitu syafa’at `uzhma (yang agung). Diberikan kepada umat manusia di Mauqif. Yaitu saat manusia dikumpulkan Allah di Padang Mahsyar, untuk diberi keputusan. [15]
• Syafa’at kedua, yaitu syafa’at yang diberikan kepada para ahli surga untuk memasuki Surga.
Kedua syafa’at di atas khusus bagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
• Syafa’at ketiga, yaitu syafa’at yang diberikan kepada orang-orang yang berhak masuk Neraka. Syafa’at ini bersifat umum, yaitu bagi beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para nabi, serta para shiddiqin dan yang lain dari kalangan kaum Muslimin.
Beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam akan memberikan syafa’at kepada orang yang
semestinya masuk Neraka untuk tidak masuk Neraka, beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam memberi syafa’at kepada orang yang sudah masuk
Neraka untuk dikeluarkan dari api Neraka, serta syafa’at Rasul untuk pelaku
dosa besar dari umat Islam, seperti sabda Rasulullah dari sahabat Anas bin
Malik: “Syafa’atku akan diberikan bagi pelaku dosa besar dari umatku”. (HR
Tirmidzi, no. 2435; Hakim I/69. Tirmidzi berkata, bahwa hadits ini hasan
shahih). Dan Allah mengeluarkan dari api Neraka beberapa kaum, tanpa melalui
syafa’at, akan tetapi berkat karunia dan rahmatNya. [16]
Sesungguhnya
Surga dan Neraka sudah diciptakan Allah. Keduanya adalah makhluk yang kekal
abadi. Surga adalah balasan bagi wali-wali Allah, sedangkan Neraka sebagai
tempat hukuman bagi orang yang bermaksiat kepadaNya, kecuali yang mendapatkan
rahmatNya. Adapun orang-orang kafir, mereka tetap kekal di dalam Neraka
selama-lamanya.
Tanda-Tanda
Hari Kiamat
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam hadits ini menyebutkan dua tanda. Di antara tanda-tanda telah dekatnya hari Kiamat, yaitu :
a. Apabila budak wanita melahirkan tuannya.
Para ulama memiliki beberapa penafsiran terhadap pengertian ini, antara lain:
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam hadits ini menyebutkan dua tanda. Di antara tanda-tanda telah dekatnya hari Kiamat, yaitu :
a. Apabila budak wanita melahirkan tuannya.
Para ulama memiliki beberapa penafsiran terhadap pengertian ini, antara lain:
• Ada
yang berpendapat, banyaknya anak yang durhaka. Yaitu seorang anak memperlakukan
ibunya sebagaimana perlakuan tuan terhadap budak wanitanya. Pendapat inilah
yang dipegang oleh Ibnu Hajar.
• Ibnu
Rajab berkata,”Ini sebagai isyarat atas pembukaan negeri (kaum Mukminin
mengalahkan negeri-negeri kafir) dan banyaknya perbudakan, sehingga banyak
budak wanita yang dijadikan gundik dan anak mereka pun menjadi banyak. Maka
jadilah budak wanita sebagai budak pemiliknya, dan anak tuannya dari budak
wanita itu berkedudukan seperti tuannya. Karena anak majikan berkedudukan
sebagai majikan”.
•
Sebagian ulama mengambil pendapat yang mengatakan bahwa ibu si anak itu dapat
merdeka dengan kematian tuannya. Seolah-olah, anaknyalah yang memerdekakannya,
maka pembebasan itu dinisbatkan kepada anak tersebut. Dengan hal tersebut,
jadilah si anak seolah-olah sebagai majikannya.
b.
Sehingga engkau melihat orang yang fakir, telanjang badan dan kaki sebagai
penggembala kambing berlomba-lomba untuk meninggikan bangunan.
Maksudnya,
orang-orang dari kalangan rakyat jelata (orang bodoh) menjadi para pemimpin.
Harta mereka pun banyak. Mereka mendirikan bangunan yang tinggi sebagai kebanggaan
dan kesombongan tehadap hamba-hamba Allah.
10.
Iman kepada Qadh dan Qadar.
Qadha adalah hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala yang azali (telah ada) sebelum diciptakannya sesuatu atau ketiadaannya. Qadar adalah penciptaan Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap segala sesuatu dengan suatu cara, dan di waktu yang khusus. Dan terkadang keduanya dimutlakkan kepada yang lainnya.
Iman kepada takdir dibangun dari dua hal, sebagaimana dijelaskan oleh para ulama:
Qadha adalah hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala yang azali (telah ada) sebelum diciptakannya sesuatu atau ketiadaannya. Qadar adalah penciptaan Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap segala sesuatu dengan suatu cara, dan di waktu yang khusus. Dan terkadang keduanya dimutlakkan kepada yang lainnya.
Iman kepada takdir dibangun dari dua hal, sebagaimana dijelaskan oleh para ulama:
• At
tashdiq (pembenaran).
Bahwasanya ilmu Allah mendahului apa yang diperbuat oleh para hambaNya, berupa kebaikan dan keburukan, ketaatan dan kemaksiatan sebelum mereka diciptakan. Dan Allah telah mencatat semuanya itu di dalam Lauhil Mahfuzh.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
Bahwasanya ilmu Allah mendahului apa yang diperbuat oleh para hambaNya, berupa kebaikan dan keburukan, ketaatan dan kemaksiatan sebelum mereka diciptakan. Dan Allah telah mencatat semuanya itu di dalam Lauhil Mahfuzh.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
كَتَبَ اللهُ مَقَادِيْرَ الْخَلاَئِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ
السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ بِخَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَةٍ
Allah telah menulis takdir seluruh makhlukNya lima puluh ribu
tahun sebelum Dia menciptakan langit dan bumi.
Beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam juga bersabda:
وَكَانَ عَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ
Dan ‘ArsyNya berada di atas air.
Seluruh
amal perbuatan mereka pasti sesuai dengan apa yang telah ditetapkan oleh AllahAzza
wa Jalla dan berjalan menurut apa yang telah diketahui oleh ilmuNya.
Firqah Qadariyyah yang ekstrim telah menafikan hal ini (ilmu Allah). Di antara
tokohnya, yaitu : Ma’bad al Juhani, Amr bin Ubaid dan selain mereka. Mereka
telah menyelisihi pendapat Salaful Ummah, sehingga mereka pun tersesat dari
jalan yang lurus.
Imam
Ahmad, asy Syafi’i dan selain mereka berpendapat tentang kafirnya orang-orang
yang mengingkari ilmu Allah yang qadim (terdahulu).
•
Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla menciptakan seluruh perbuatan hambaNya berupa
berkurangnya iman, ketaatan dan kemaksiatan, dan menutupkannya di antara mereka
dengan kehendaknya.
Iman
kepada qadha dan qadar ada empat tingkatan:
• Al
Ilmu.
Yaitu, mengimani bahwa Allah dengan ilmuNya, yang merupakan sifatNya yang azali dan abadi, telah mengetahui segala amal perbuatan makhlukNya, serta mengetahui segala ihwal mereka, seperti taat, maksiat, rizki, ajal, bahagia, dan celaka.
Yaitu, mengimani bahwa Allah dengan ilmuNya, yang merupakan sifatNya yang azali dan abadi, telah mengetahui segala amal perbuatan makhlukNya, serta mengetahui segala ihwal mereka, seperti taat, maksiat, rizki, ajal, bahagia, dan celaka.
• Al
Kitaabah.
Bahwa Allah telah mencatat di Lauh Mahfuz seluruh takdir makhluk. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
Bahwa Allah telah mencatat di Lauh Mahfuz seluruh takdir makhluk. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
أوّلُ مَا خَلَقَ اللهُ القَلَمَ قَالَ لَهُ اُكْتُبْ قَالَ:مَا
أَكْتُبُ ؟ قَالَ : اُكْتُبْ مَاهُوَ كَائِنٌ إِلَى يَومِ القِيامَةِ
Pertama kali yang diciptakan Allah adalah qalam (pena), lalu
Allah berfirman kepadanya: “Tulislah,” (maka) ia menjawab,”Apa yang harus aku
tulis?” Allah berfirman,”Tulislah semua yang terjadi sampai hari Kiamat!” [HR Ibnu Ashim di dalam
as Sunnah, no. 103; Ahmad V/317] [17].
Sebagaimana
juga Allah berfirman:
أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاءِ
وَالْأَرْضِ ۗ إِنَّ ذَٰلِكَ فِي كِتَابٍ ۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ
Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui
apa saja yang ada di langit dan di bumi?; bahwasanya yang demikian itu terdapat
dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah
bagi Allah. [al
Hajj : 70].
• Al Masyi’ah.
Yaitu, apa yang dikehendaki Allah pasti terjadi. Sebaliknya, apa yang tidak dikehendakiNya, tidak akan terjadi. Semua gerak-gerik yang terjadi di langit dan di bumi hanyalah dengan kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tidak ada sesuatu yang terjadi di dalam kerajaanNya apa yang tidak diinginkanNya.
Yaitu, apa yang dikehendaki Allah pasti terjadi. Sebaliknya, apa yang tidak dikehendakiNya, tidak akan terjadi. Semua gerak-gerik yang terjadi di langit dan di bumi hanyalah dengan kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tidak ada sesuatu yang terjadi di dalam kerajaanNya apa yang tidak diinginkanNya.
• Al
Khalq.
Yaitu, Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, baik yang ada maupun yang belum ada. Karena itu, tidak ada satupun makhluk di bumi atau di langit, melainkan Allah-lah yang menciptakannya, tiada pencipta selain Dia, tiada Ilah melainkan hanya Allah saja. Sebagaimana firmanNya:
Yaitu, Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, baik yang ada maupun yang belum ada. Karena itu, tidak ada satupun makhluk di bumi atau di langit, melainkan Allah-lah yang menciptakannya, tiada pencipta selain Dia, tiada Ilah melainkan hanya Allah saja. Sebagaimana firmanNya:
اللَّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ ۖ وَهُوَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ
وَكِيلٌ
Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala
sesuatu. [az
Zumar : 62].
Dengan
demikian, hendaknya bagi orang yang membahas nash-nash tentang qadha dan qadar
agar memperhatikan hal-hal berikut, sehingga selamat dari penyimpangan terhadap
rukun ini :
a.
Membedakan antara sifat Allah dengan sifat makhlukNya.
Pembedaan antara ilmu Allah Azza wa Jalla dan ilmu manusia haruslah dilakukan. Sifat ini harus ditetapkan untuk Allah dengan bentuk yang paling sempurna.
Pembedaan antara ilmu Allah Azza wa Jalla dan ilmu manusia haruslah dilakukan. Sifat ini harus ditetapkan untuk Allah dengan bentuk yang paling sempurna.
Seluruh
sifat Allah Tabaraka wa Ta’ala adalah sempurna, tidak
dicampuri kelemahan, kekurangan, tidak juga keterpaksaan. Sebagaimana yang
menimpa pada kekuasaan dan kehendak makhluk, yakni kehendak makhluk memiliki
keterbatasan, serba kurang, dan dikuasai.
b.
Mensucikan Allah Azza wa Jalla dari berbagai sifat yang
kurang.
Wajib bagi para hamba untuk mensucikan Rabb dari kesia-siaan, kejahilan, kezhaliman dan selainnya dari berbagai kekurangan.
Wajib bagi para hamba untuk mensucikan Rabb dari kesia-siaan, kejahilan, kezhaliman dan selainnya dari berbagai kekurangan.
c.
Penelitian atau pembahasan yang menyeluruh terhadap nash-nash al Kitab dan as
Sunnah, serta keluar dengan satu hukum setelahnya.
Hal ini sudah seharusnya dilakukan pada setiap permasalahan agama, mengumpulkan nash-nash tentang suatu permasalahan, kemudian bersungguh-sungguh dalam memahaminya, sesudah itu baru kemudian mengeluarkan satu hukum.
Hal ini sudah seharusnya dilakukan pada setiap permasalahan agama, mengumpulkan nash-nash tentang suatu permasalahan, kemudian bersungguh-sungguh dalam memahaminya, sesudah itu baru kemudian mengeluarkan satu hukum.
d.
Allah Azza wa Jalla tidak ditanya tentang apa yang
dilakukanNya.
Sebagaiman firmanNya :
Sebagaiman firmanNya :
لَا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ
Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuatNya, dan merekalah
yang akan ditanyai. [al
Anbiyaa` : 23]
e.
Hendaklah memiliki pengetahuan, bahwasanya seorang hamba diberi beban untuk
melakukan berbagai sebab. Adapun hasilnya berada di tangan Allah.
Tidak semua orang yang melakukan suatu sebab tertentu dan dilakukan oleh orang lain yang semisalnya, keduanya memperoleh rizki yang sama. Terkadang seorang manusia berusaha sungguh-sungguh, tetapi tidak mendapatkan rizki yang banyak. Sedangkan yang lain berusaha dengan kesungguhan yang minim, akan tetapi ia memperoleh harta yang banyak.
Tidak semua orang yang melakukan suatu sebab tertentu dan dilakukan oleh orang lain yang semisalnya, keduanya memperoleh rizki yang sama. Terkadang seorang manusia berusaha sungguh-sungguh, tetapi tidak mendapatkan rizki yang banyak. Sedangkan yang lain berusaha dengan kesungguhan yang minim, akan tetapi ia memperoleh harta yang banyak.
Bersama
kesungguhan mereka, mereka juga memperoleh akibat yang buruk. Maka berbagai
hasil berada di tangan Allah. Dia-lah yang mempersiapkan balasan dalam berbagai
usaha sebagai bentuk keadilan dan kebijaksanaanNya.
11.
Definisi ihsan.
Ihsan adalah ikhlas dan penuh perhatian. Artinya, sepenuhnya ikhlas untuk beribadah hanya kepada Allah dengan penuh perhatian, sehingga seolah-olah engkau melihatNya. Jika engkau tidak mampu seperti itu, maka ingatlah bahwa Allah senantiasa melihatmu dan mengetahui apapun yang ada pada dirimu.
Ihsan adalah ikhlas dan penuh perhatian. Artinya, sepenuhnya ikhlas untuk beribadah hanya kepada Allah dengan penuh perhatian, sehingga seolah-olah engkau melihatNya. Jika engkau tidak mampu seperti itu, maka ingatlah bahwa Allah senantiasa melihatmu dan mengetahui apapun yang ada pada dirimu.
Sabda
Rasulullah ketika beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendefinisikan
kata ihsan “engkau menyembah Allah seolah-olah melihatNya dan seterusnya”
mengisyaratkan, bahwa seorang hamba menyembah Allah dalam keadaan seperti itu.
Berarti, ia merasakan kedekatan Allah dan ia berada di depan Allah seolah-olah
melihatNya. Hal ini menimbulkan rasa takut, segan dan mengagungkan Allah,
seperti dalam riwayat Abu Hurairah: “Hendaknya engkau takut kepada Allah
seolah-olah engkau melihatNya”.
Ibadah
seperti ini juga menghasilkan ketulusan dalam beribadah, dan berusaha keras
untuk memperbaiki dan menyempurnakannya.
Tentang
sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam “Jika engkau tidak
dapat melihatNya, sesungguhnya Dia melihatmu”, ada yang mengatakan, sabda
tersebut merupakan penjelasanan bagi sabda sebelumnya. Bahwa jika seorang hamba
diperintahkan merasa diawasi Allah dalam ibadah dan merasakan kedekatan Allah
dengan hambaNya hingga hamba tersebut seolah-olah melihatNya, maka bisa jadi
hal tersebut baginya. Untuk itu, hamba tersebut menggunakan imannya, bahwa
Allah melihat dirinya, mengetahui rahasianya, mengetahui yang diperlihatkannya,
batinnya, luarnya, dan tidak ada sedikit pun dari dirinya yang tidak
diketahuiNya. Jika hamba tersebut menempatkan diri dengan posisi seperti ini, maka
mudah bagi hamba tersebut untuk beranjak ke posisi kedua, yaitu terus-menerus
melihat kedekatan Allah dengan hambaNya dan kebersamaan Allah dengan hambaNya,
hingga hamba tersebut seperti melihatNya.
12.
Etika bertanya.
Seorang muslim akan menanyakan sesuatu yang bermanfaat bagi dunia dan akhiratnya. Dia tidak akan menanyakan hal-hal yang tidak mendatangkan manfaat. Bagi orang yang menghadiri sebuah majelis ilmu, lalu ia melihat orang-orang yang hadir disitu ingin mengetahui satu hal, dan ternyata masalah tersebut belum ada yang menanyakan, maka sepatutnya ia menanyakan, meskipun ia sudah mengetahuinya agar orang-orang yang hadir bisa mengambil manfaat dari jawaban yang diberikan.
Seorang muslim akan menanyakan sesuatu yang bermanfaat bagi dunia dan akhiratnya. Dia tidak akan menanyakan hal-hal yang tidak mendatangkan manfaat. Bagi orang yang menghadiri sebuah majelis ilmu, lalu ia melihat orang-orang yang hadir disitu ingin mengetahui satu hal, dan ternyata masalah tersebut belum ada yang menanyakan, maka sepatutnya ia menanyakan, meskipun ia sudah mengetahuinya agar orang-orang yang hadir bisa mengambil manfaat dari jawaban yang diberikan.
Orang
yang ditanya tentang suatu hal, dan ia tidak mengetahui jawabannya, hendaklah
ia mengakui ketidaktahuannya, agar tidak terjerumus kepada hal-hal yang tidak
ia ketahui.
13.
Metode tanya-jawab.
Pendidikan modern pun mengakui, bahwa metode tanya-jawab merupakan metode pendidikan yang relatif berhasil, karena memberikan tambahan semangat pada diri pendengar untuk mengetahui jawaban yang diberikan. Metode ini sering dipergunakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mendidik generasi sahabat Radhiyallahu ‘anhum.
Pendidikan modern pun mengakui, bahwa metode tanya-jawab merupakan metode pendidikan yang relatif berhasil, karena memberikan tambahan semangat pada diri pendengar untuk mengetahui jawaban yang diberikan. Metode ini sering dipergunakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mendidik generasi sahabat Radhiyallahu ‘anhum.
FAWAID HADITS JIBRIL
1.
Bid’ah tentang penafian qadar timbul di Basrah pada masa
sahabat, dengan tokohnya yang bernama Ma’bad al Juhani.
2.
Kembalinya tabi’in kepada sahabat dalam mengetahui masalah
agama, baik dalam masalah aqidah atau yang lainnya.
3.
Wajib atas setiap muslim untuk bertanya tentang masalah agama
kepada ulama. [an Nahl ayat 43].
4.
Disunnahkan bagi jama’ah haji dan umrah memanfaatkan kepergian
mereka ke Mekkah dan Madinah untuk belajar agama dan bertanya kepada ulama.
5.
Setan menyesatkan manusia dengan dua jalan. Pertama, setan
menyesatkan orang yang lalai dari ketaatan kepada Allah dihiasi dengan syahwat.
Kedua, setan menyesatkan orang yang taat kepada Allah dihiasi dengan syubhat.
6.
Obat dari syubhat dan syahwat adalah kembali kepada al Qur`an
dan as Sunnah dengan pemahaman Salaf.
7.
Menunjukkan disunahkannya memakai pakaian yang bersih dan
memakai wangi-wangian ketika berada di majelis ilmu dan bertemu dengan ulama
dan penguasa.
8.
Sesungguhnya orang yang berilmu, apabila ia ditanya tentang
sesuatu dan dia belum mengetahuinya, hendaklah ia mengatakan “aku tidak
mengetahuinya”. Hal ini tidaklah mengurangi kedudukannya.
9.
Ucapan “Allahu a’lam” (Allah yang mengetahui) dan “la
adri” (aku tidak tahu) adalah separuh dari ilmu.
10.
Definisi Islam yang benar adalah, tunduk patuh kepada Allah
dengan tauhid, melaksanakan ketaatan dan membebaskan diri dari syirik.
11.
Kewajiban pertama kali
atas muallaf, yaitu mengucapkan dua kalimat syahadat; bersaksi tidak ada Ilah
yang berhak diibadahi melainkan hanya Allah.
12.
Penjelasan tentang Rukun Islam yang lima. Hadits ini
menerangkan, Islam adalah amal-amal anggota badan, berupa perkataan dan
perbuatan.
13.
Iman adalah perkataan dan perbuatan. Iman, menurut Ahlus Sunnah
adalah perkataan dengan lisan, meyakini dengan hati, melaksanakan dengan
anggota tubuh, bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan perbuatan dosa
dan maksiat.
14.
Penjelasan tentang rukun iman yang enam.
15.
Tauhid ada tiga : Tauhid Rububiyah, Tauhid Uluhiyyah, dan Tauhid
Asmaa` wa Shifat.
16.
Iman kepada qadar baik dan buruk. Apa yang Allah takdirkan
kepada kita, itu yang terbaik untuk kita.
17.
Tidak boleh menisbatkan kejelekan kepada Allah.
18.
Penjelasan tentang ihsan.
19.
Tanda-tanda kiamat, yaitu kiamat kecil.
20.
Hadits ini menunjukkan haramnya durhaka kepada orang tua.
21.
Hadits ini menunjukkan salah satu cara dari cara-cara
pembelajaran, yaitu metode tanya-jawab.
22.
Hadits ini menunjukkan bahwa malaikat dapat merubah bentuk
menyerupai manusia. Hal tersebut dikuatkan oleh dalil-dalil dari al Qur`an.
23.
Dimakruhkan membangun dan meninggikan bangunan selama tidak
untuk keperluan yang sangat mendesak.
24.
Hadits ini menerangkan tentang adab-adab duduk atau bermajelis
dalam majelis ilmu, yaitu ditunjukkan Jibril duduk dekat dengan Rasulullah shallalallahu
‘laihi wa sallam . Beginilah yang seharusnya dilakukan oleh
penuntut ilmu, sehingga ia dapat mengambil ilmu dengan seksama dan mengambil
hujjah dari lisan-lisan para ulama.
25.
Tidak ada seorang pun yang mengetahui waktu terjadinya kiamat.
[Lihat QS Luqman ayat 34, al Ahzab ayat 63].
26.
Di dalam hadits ini terdapat dalil, sesuatu hal yang ghaib tidak
ada yang mengetahuinya kecuali Allah Azza wa Jalla semata.
0 komentar:
Posting Komentar